Nakita.id - Sebagai orangtua, Moms dan Dads tentu sepakat bahwa pendidikan adalah salah hal terpenting bahkan wajib didapat untuk semua kalangan. Khususnya sejak usia dini, sebab pendidikan menjadi salah satu faktor penting untuk kemajuan seorang anak di masa depan.
Bagaikan sebuah fondasi, pendidikan harus ditanamkan betul-betul pada anak dengan cara memahami sekaligus mendampingi dunia mereka. Sayangnya, tak semua anak di Indonesia memiliki kesempatan mendapat pendidikan yang sama.
Untuk itu, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan beberapa langkah untuk meratakan hak pendidikan di Indonesia.
Bahkan, Kemendikbudristek juga berupaya dalam menciptakan pembelajaran yang efektif dan menyenangkan untuk anak. Simak artikel berikut ini ya, Moms dan Dads.
Drs. Zulfikri Anas, M.Ed mengatakan, dari segi kurikulum, Kemendikbudristek melakukan pengembangan kurikulum. Zulfikri bahkan menyampaikan, untuk kurikulum yang sekarang ini menganut prinsip fleksibel, relevan, kemudian berkeadilan.
"Relevan dengan kebutuhan anaknya, fleksibel dengan karakteristik daerah, karakteristik anak," terang Zulfikri dalam wawancara eksklusif bersama Nakita, Senin (22/5/2023).
"Berkeadilan maksudnya di sini adalah, lakukanlah proses pembelajaran itu sesuai dengan kondisi yang ada, karena itu akan membantu anak untuk mencapai kompetensi," lanjutnya menerangkan.
Dengan fleksibilitas ini, Zulfikri menyampaikan, kurikulum akan menyesuaikan kembali dengan kondisi daerah tersebut.
Sehingga, akan mempercepat anak untuk mencapai kompetensi sebenarnya atau tujuan yang ingin dicapai dalam pendidikan.
"Jadi, dengan cara menyesuaikan dengan kondisi daerah, kebutuhan anak, dan sebagainya yang fleksibel," tegas Zulfikri yang saat ini menjabat sebagai Plt. Kepala Pusat Kurikulum dan Pembelajaran, Kemendikbudristek.
"Mungkin kita menetapkan misalnya standar mutu. Tapi untuk mencapai itu, harus disesuaikan dengan kondisi yang ada, sehingga bisa mengatur strategi sesuai dengan kondisi yang ada itu. Itulah cara kita untuk mencapai mutu pendidikan yang sama," lanjutnya.
Kemudian dalam prinsip berkeadilan, anak tidak boleh dipaksa untuk mendapatkan pendidikan dengan hanya satu cara tertentu saja.
"Itu mungkin cocok untuk daerah yang sudah lengkap (sarana dan prasarananya). Tapi, bagi daerah yang kondisinya mungkin remote, dengan sarana yang terbatas, sosial ekonomi yang berbeda, kalau dipaksa dengan cara yang sama, yang kuat semakin kuat, yang tertinggal semakin tertinggal. Atau, yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin," ungkap Zulfikri.
"Tapi, kalau disesuaikan dengan konteks anak-anak itu, kesempatan mereka untuk bertumbuh dan berkembang itu akan sama sebetulnya," lanjut Zulfikri mengungkapkan.
Dengan memperhatikan karakteristik masing-masing daerah dengan strategi yang disesuaikan, Zulfikri yakin bahwa hal ini akan mendorong anak-anak di wilayah tersebut meningkatkan kualitas pendidikan.
"Misalnya ya, di (daerah) situ belum ada listrik atau sosial ekonominya rendah. Nah, kita mendorong mereka untuk meningkatkan kualitas proses pembelajarannya, bagaimana mendekati anak, bagaimana mengetahui kebutuhan anak kondisi anak itu, dan gunakanlah sumber daya-sumber daya yang ada di tempat itu untuk dalam proses pembelajaran," jelasnya.
"Sehingga, apa pun kondisi daerahnya, kalau dilakukan pendidikan seperti itu, kontekstual, fleksibel, nantinya (orang dewasa) bisa mengantisipasi apa yang dibutuhkan oleh anak-anak di daerah yang bersangkutan," lanjutnya.
Mulai dari daerah kepulauan, daerah pegunungan, daerah pedesaan, hingga daerah perkotaan.
"Itu kan pendekatannya harus berbeda-beda. Dengan cara itu, sebetulnya kita bisa mengangkat mutu pendidikannya," tutupnya.
Zulfikri menyampaikan, untuk saat ini, Kemendikbudristek mengedepankan segi kurikulum khususnya bagi anak usia dini.
"Dari segi kurikulumnya kita mengedepankan, apalagi usia dini ya, mengedepankan kebahagiaan anak dan pendidikan yang menyenangkan. Apalagi, di episode merdeka belajar yang ke-24 kemarin itu transisi PAUD ke SD yang menyenangkan," jelasnya.
Baca Juga: Apa Saja Dampak Jika Anak Tidak Mendapatkan Pendidikan Sejak Dini? Ini Jawaban Kepala Sekolah
"Di situ, yang paling baik ditekankan itu tidak ada lagi tes baca, tulis, hitung bagi anak-anak yang masuk SD. Nah, proses pembelajaran di SD harus disesuaikan dengan kondisi anak, disejalankan dengan anak usia dini," lanjutnya menjelaskan.
Menurut Zulfikri, anak sampai usia kelas 2 SD itu masih dikategorikan sebagai anak usia dini.
Sehingga, Kemendikbudristek menciptakan model-model pembelajaran yang menyenangkan, modul-modul ajar yang membuat guru bisa menerapkan pembelajaran yang menyenangkan sekaligus membahagiakan anak.
"Karena, kebahagiaan anak itu yang utama sebetulnya," terang Zulfikri.
"Nah, kebahagiaan anak itu bukan karena dimanja atau disuruh diam. Anak itu akan merasa bahagia kalau hasil karyanya diapresiasi, kalau dia diberikan ruang seluas-luasnya untuk mengekspresikan apa yang ada di dalam hatinya, pikirannya, kemudian perasaannya. Apakah lewat geraknya, atau lewat karya visualnya, atau macam-macam," ungkap Zulfikri.
Sehingga, lanjutnya, ketika anak menghasilkan suatu karya yang aneh dan unik itu harus diapresiasi.
Zulfikri merangkum, langkah-langkah yang dilakukan oleh Kemendikbudristek saat ini adalah dengan menyenaikan modul-modul belajar yang menyenangkan, juga membuat kebijakan untuk menyadarkan para guru dan orangtua untuk memperhatikan hak anak dengan sungguh-sungguh.
Mulai dari dunia anak, kebutuhan anak, dan jangan sampai pihak terkait tega merampas keceriaan anak dalam belajar.
"Nah, kalau mereka (anak) tuh sudah merasakan belajar itu menyenangkan, mereka bisa menikmati akhirnya mereka mencintai belajar. Dan akhirnya, bagi mereka, belajar bukanlah suatu paksaan, bukan suatu kewajiban. Tapi memang kebutuhan mereka," jelas Zulfikri.
"Sehingga, si anak tidak mengalami tekanan-tekanan itu. Bukan berarti dia harus dimanja, dipenuhi tuntutan. Tetapi, bagaimana kita mengerti dunia mereka dan mereka kita temani, kita layani, kita ciptakan suasana yang membuat mereka itu happy menikmati belajar," lanjutnya.
Alhasil, anak akan semakin paham dan merasa bahwa dunia pendidikan itu betul-betul merupakan kebutuhannya. Tentunya juga, sesuai dengan kondisi dan sosial emosional anak tersebut.
Baca Juga: Kerap Disepelekan, Ini Pentingnya Kegiatan Ekstrakurikuler di Sekolah untuk Anak
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR