Nakita.id - Sebelumnya, Indonesia sempat digemparkan dengan kasus anak remaja yang melakukan kekerasan.
Akibat dari kekerasan yang dilakukan oleh anak remaja ini membuat korban harus mendapat perawatan intensif di rumah sakit.
Tak hanya kasus ini, di luar sana, tentu masih banyak kasus kekerasan lainnya yang dilakukan oleh anak.
Keberadaan kekerasan yang dilakukan oleh anak menjadi isu yang sangat serius dan membutuhkan perhatian mendalam dari semua pihak terkait.
Dalam artikel ini, akan dikupas lebih lanjut terkait apa saja penyebab, faktor risiko, hingga dampak dari anak yang melakukan kekerasan.
Simak artikel selengkapnya berdasarkan penjelasan menurut psikolog ini.
Menurut Shierlen Octavia, M.Psi, Psikolog, kekerasan pada dasarnya merujuk pada perilaku agresi yang ditujukan untuk menyakiti seseorang.
Misalnya, seperti memukul bahkan menghina.
"Kekerasan yang dilakukan anak umumnya terjadi karena anak kurang mampu mengelola amarah dengan baik," sebut Shierlen saat dihubungi Nakita, Jumat (5/5/2023).
Shierlen bahkan mengungkap, bahwa ada faktor internal dan eksternal yang bisa menyebabkan anak melakukan kekerasan.
Ada tiga penyebab yang bisa menyebabkan seorang anak melakukan kekerasan.
"Secara internal, anak yang lebih agresif dan impulsif membuat mereka cenderung bereaksi dengan kekerasan saat marah," ungkap Shierlen.
Psikolog di Personal Growth ini juga mengungkap, kemampuan pengambilan keputusan dan berpikir kritis yang masih belum berkembang secara matang bisa menyebabkan anak melakukan kekerasan.
Terlebih, pada seseorang yang masih di usia anak hingga remaja.
"Ketiga, kesulitan dalam mengelola emosi seperti kemarahan, kecemasan, atau frustrasi," sebutnya lagi.
Secara eksternal, Shierlen menyampaikan bahwa kondisi lingkungan yang banyak melakukan kekerasan juga dapat menjadi penyebabnya.
Menurut Shierlen, ada beberapa faktor yang dapat meningkatkan risiko seorang anak bisa melakukan tindakan kekerasan.
Diantaranya adalah sebagai berikut:
"Misalnya, pernah menjadi korban atau menyaksikan tindak kekerasan dalam keluarga dan lingkungan sekitar, pernah mengalami trauma, paparan terhadap kekerasan dari media (misalnya televisi, film, games), dan pola asuh orang tua yang menerapkan hukuman fisik," ungkap Shierlen.
Contohnya seperti, terlahir dari ayah atau ibu yang memiliki kecenderungan agresif.
Atau, anak pernah mengalami head injury yang cenderung menyebabkan kerusakan otak.
Baca Juga: #LovingNotLabelling: Kendalikan Emosi Saat Marah Pada Anak Dengan 5 Cara Ini
Misalnya seperti, daya analisis yang belum berkembang.
"Sehingga, anak meniru perilaku orang lain tanpa memikirkan dampaknya," terang Shierlen.
"Atau, kurangnya kemampuan dalam memahami perasaan orang lain pada beberapa anak," lanjutnya menambahkan.
Misalnya, anak yang memiliki rasa frustasi dan emosi negatif yang tinggi.
Menurut Shierlen, kasus kekerasan akan cenderung memicu anak untuk terlibat dalam kasus kekerasan. Baik itu sebagai pelaku maupun korban.
"Selain itu, anak lebih berisiko terlibat dalam perilaku kriminal ketika beranjak dewasa, serta lebih mudah terlibat dalam penyalahgunaan obat dan alkohol," ungkapnya.
"Anak juga berpotensi mengalami kesulitan belajar, seperti menurunnya nilai dan performa di sekolah," lanjutnya mengungkapkan.
Bahkan, lanjut Shierlen, anak juga berisiko menderita berbagai masalah kesehatan mental seperti depresi dan kecemasan.
Oleh karena itu, sebagai orangtua, Moms dan Dads perlu menerapkan pola asuh yang baik untuk Si Kecil sejak dini.
Pasalnya, pola asuh yang baik tentu dapat membuat tumbuh kembang anak semakin optimal.
Semoga artikel diatas bermanfaat ya, Moms dan Dads.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR