Nakita.id - Minggu kemarin (23/7/2023) diperingati sebagai Hari Anak Nasional.
Hari Anak Nasional ini menjadi ajang penting untuk mengingat kembali harapan bangsa terhadap anak di masa depan, yakni generasi yang sehat, hebat, dan cerdas.
Oleh sebab itu, jangan heran apabila Hari Anak Nasional diperingati sebagai bentuk kepedulian seluruh masyarakat Indonesia atas keamanan, kesejahteraan, serta kebahagiaan kehidupan anak.
Dalam rangka menyambut Hari Anak Nasional, bulan ini Nakita mengangkat topik tentang menjaga kesehatan mental anak dan remaja.
Selain dalam keluarga, kesehatan mental juga perlu dibentuk dalam lingkungan sekolah melalui bantuan guru, teman sebaya, dan staf sekolah lainnya.
Sayangnya, ternyata tidak sedikit anak dan remaja yang mengalami masalah kesehatan mental akibat kekerasan termasuk bullying yang terjadi di lingkungan sekolah.
Untuk hal ini, KemenPPPA (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak) melakukan berbagai tindakan tegas untuk menekan kasus kekerasan di lingkungan sekolah ini.
Apa saja upaya yang telah dilakukannya? Simak selengkapnya dalam artikel berikut.
Amurwani Dwi Lestariningsih mengatakan bahwa memang di lingkungan sekolah itu paling rawan untuk tindak kekerasan.
"Kalau kita lihat di Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, kita sudah punya program juga ya seperti program 'Sekolah Ramah Anak' bahwa bagaimana di dalam satuan pendidikan itu baik pendidikan formal, pendidikan non formal, maupun yang memberikan pemenuhan hak dan perlindungan khusus anak, termasuk adanya mekanisme untuk pengaduan dalam penanganan kasus di satuan pendidikan," kata Amur menjelaskan dalam wawancara eksklusif Nakita, Selasa (18/7/2023).
Berdasarkan penjelasannya, satuan Sekolah Ramah Anak ini dikembangkan dengan harapan untuk memenuhi sekaligus melindungi hak anak itu sendiri.
Misalnya, anak berada di sekolah selama 8 jam sehingga harus mendapatkan perlindungan selama berada di dalam sekolah.
"Jadi kita berupaya supaya anak itu dapat terjamin keselamatannya ketika dia berada di sekolah," harap Amur.
Selain itu, lanjutnya, Sekolah Ramah Anak ini juga merupakan sebuah paradigma baru yang digunakan untuk mengajak seluruh pihak di satuan pendidikan agar dapat melindungi anak juga memberikan rasa lebih aman dan nyaman untuk anak.
Terutama guru, kepala sekolah, tenaga-tenaga pendidikan di sekolah, sahabat anak, serta ekosistem sekolah.
"Sehingga, anak dapat berinteraksi dengan lebih baik dalam kehidupan yang sehat di dalam lingkungan yang sehat itu," ujar Asisten Deputi Pemenuhan Hak Anak atas Kesehatan dan Pendidikan KemenPPPA ini.
"Mereka juga bebas dari gangguan-gangguan, baik itu gangguan fisik, gangguan mental, maupun gangguan psikologis, sehingga mereka benar-benar dapat merasa aman dan nyaman ketika berada di sekolah," lanjutnya.
Selain Sekolah Ramah Anak, Amur juga menyampaikan bahwa pihak KemenPPPA memiliki layanan SAPA 129.
Layanan SAPA 129 bertujuan untuk mengatur proses serta menangani kasus dimana anak sekolah mendapatkan perlakuan kekerasan salah satunya di lingkungan sekolah.
"Bisa lewat jalur SAPA 129 ya. Itu (bertujuan untuk) melaporkan kejadian-kejadian yang dialami anak sebagai wujud untuk implementasi dari infrastruktur yang disiapkan oleh KemenPPPA untuk memberikan layanan rujukan akhir bagi anak-anak maupun perempuan korban.
Baik itu kekerasan seksual, bullying, perundungan, ataupun intoleransi melalui SAPA 129 ini," kata Amur menyampaikan.
Baca Juga: Orangtua Jangan Abai, Ini Pengaruh Media Sosial untuk Kesehatan Mental Anak
Amur juga menambahkan bahwa KemenPPPA juga memberikan layanan SAPA 129 lewat WhatsApp yang bisa diakses di nomor 08111129129.
"Jadi, melalui (layanan SAPA 129) ini, penyintas atau mereka yang memerlukan pendampingan bisa melapor melalui sarana-sarana yang tadi ya.
Untuk memberi kemudahan atau melakukan bantuan khusus, sehingga segera dapat ditangani secepatnya dari KemenPPPA," ujarnya.
Termasuk, peserta didik yang memiliki gangguan mental dan diganggu oleh beberapa pihak di sekolah.
Amur menekankan bahwa guru merupakan pengganti orangtua ketika anak berada di sekolah.
Bahkan, teman-teman sekelasnya yang menjadi peer group atau pengganti saudara kandung ketika anak berada di lingkungan sekolah.
"Oleh karena itu, guru juga harus peka terhadap anak didiknya. Guru juga harus bisa memberikan kedekatan kepada anak didiknya, supaya merasa aman ketika berada di dekat gurunya dan teman-teman sekolahnya, sehingga perasaan aman itu akan menjadi sebuah kenyamanan ketika anak itu berinteraksi," jelas Amur.
"Sentuhan-sentuhan tulus, penuh cinta kasih, penuh kasih sayang dari guru itu juga diperlukan dalam pola asuh di sekolah, yang tentu harus ditunjukkan dengan kehangatan dan keikhlasan seorang guru," lanjutnya.
Mulai dari mau menjadi seorang teman untuk mendengarkan keluh kesah peserta didik yang memiliki persoalan, mendengarkan cerita ketika peserta didik sedih, bahkan menjadi seorang yang dapat diandalkan peserta didik ketika butuh perlindungan di sekolah.
"Nah, ini menjadi penting karena rasa aman, rasa nyaman itu yang diperlukan anak-anak sehingga dia bisa tumbuh dengan optimal di lingkungan dimana dia dibesarkan atau mendapatkan interaksi yang berada di luar keluarganya," kata Amur dengan tegas.
"Dan tentu saja, dukungan kesehatan mental dari seorang guru itu diperlukan untuk perkembangan sosial, perkembangan kognitif seorang anak, dan juga perkembangan emosi seorang anak ketika dia harus beradaptasi, menyesuaikan dirinya untuk berinteraksi lebih luas di lingkungan sekitarnya," lanjutnya.
Amur menyebut bahwa ada banyak sekali kegiatan yang bisa dilakukan untuk mendukung serta memberikan kesempatan kepada anak-anak agar dapat bertumbuh dan berkembang.
"Kesempatan dalam hal ini bisa anak salurkan kreativitasnya melalui menulis, seperti menulis puisi, menulis karya tulis, macam-macam.
Kemudian, bisa juga melukis, bisa juga melakukan aktivitas yang disukai ya," sebutnya.
"Juga, kegiatan-kegiatan ekstrakurikuler di sekolah, ya. Ada olahraga, memasak, menjahit," tambahnya.
Semuanya ini dapat mempengaruhi pertumbuhan anak, sehingga anak merasa dirinya dihargai.
"Dihargai dalam arti pemenuhan, apresiasi terhadap ide-ide dan gagasannya. Itu benar-benar mendapatkan apresiasi dari orang-orang dewasa, sehingga dia juga merasa dirinya berharga," kata Amur menerangkan.
"Yang terpenting itu, bagaimana kita menjadikan anak ini merasa berharga di hadapan kita, di hadapan masyarakat.
Dan kalau sudah merasa dihargai dan berharga, maka dia (anak) akan memanfaatkan seluruh kehidupannya itu untuk hal-hal yang positif," lanjutnya menerangkan.
Oleh karena itulah, guru sebagai orangtua perlu memotivasi serta memberikan dukungan kepada anak sehingga tumbuh menjadi pribadi yang percaya diri.
"Dan tentu saja kita mengharapkan mereka nanti akan menjadi anak-anak yang mampu untuk mengembangkan dirinya sendiri, mandiri, dan bersaing secara global dalam tataran dunia yang semakin akan terbuka," tutup Amur.
Semoga artikel diatas bermanfaat ya, Moms dan Dads.
Baca Juga: Jadi Orangtua Kedua, Ini Pentingnya Peran Guru dalam Menjaga Kesehatan Mental Anak di Sekolah
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR