Orangtua harus memantau bagaimana cara anak mengekspresikan emosinya, apakah anak sering memukul, melempar, menonjok, dan sebagainya.
“Orangtua juga perlu melihat apakah Si Kecil bisa meregulasi emosinya atau tidak. Kalau misalkan tidak bisa, ditambah orangtua juga tidak memvalidasi emosi yang dirasakan anak, orangtua justru memarahi anak karena merasa emosi tertentu, atau bahkan memukul supaya anak diam, itu yang perlu diwaspadai,” ungkap Jane.
Terakhir, Jane menyarankan para orangtua untuk bertanya kepada guru di sekolah.
“Kita juga perlu cross check ke guru apakah kalau si anak mengalami konflik dengan teman di sekolahnya, bagaimana responnya. Apakah sangat mudah marah atau juga menunjukkan kekerasan,” kata Jane.
Pertama, yang harus dilakukan orangtua adalah memvalidasi emosi anak.
“Misalnya, orangtua bilang ‘Kakak marah? Mama tahu kakak kesal, saking kesalnya sampai memukul, ya?’. Jadi, dengan begitu, kita validasi dan terima emosinya, dan menunjukkan empati bahwa kita paham ia saking marahnya sampai memukul orang,” ujar Jane.
Namun, selain itu, Jane juga mengingatkan para orangtua untuk mengajak anak diskusi bahwa dengan memukul bisa merugikan orang lain dan tersakiti.
“Pun kalau kita dipukul orang lain juga kita tidak akan terima. Tapi, yang penting adalah validasi, tunjukkan empati dan tunjukkan bahwa kita memahami apa yang dia rasakan,” sambungnya.
Dalam hal ini, observasi adalah hal yang sangat penting.
Tapi, jika orangtua sudah memvalidasi emosi anak dan juga mengajarkan bagaimana cara mengendalikan atau meregulasi emosinya, tapi tetap tidak berhasil, maka ini yang perlu dikonsultasikan secara langsung pada psikolog anak.
Pertama, orangtua tidak boleh memberi contoh.
Penulis | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR