Nakita.id – Akhir-akhir ini, kasus kekerasan yang dilakukan oleh anak kian memprihatikan.
Bagaimana tidak, kekerasan verbal hingga fisik terus ditemukan di berbagai jenjang sekolah. Akibat hal tersebut, tak sedikit yang kemudian terluka, trauma, bahkan hingga kehilangan nyawa.
Untuk mencegah hal-hal buruk terjadi, penting untuk para orangtua mengenali apa saja tanda-tanda anak yang berpotensi melakukan kekerasan.
Dengan mengetahuinya lebih awal, Moms dan Dads pun bisa segera melakukan pencegahan dan penanganan.
Lantas, seperti apa tanda-tanda anak terlibat dalam perilaku kekerasan?
Untuk mengetahui jawabannya, Nakita telah mewawancarai secara eksklusif Jane Cindy Linardi, M.Psi, Psi, CGA, Psikolog Klinis Anak dan Remaja RS Pondok Indah - Bintaro Jaya.
Jane mengatakan kekerasan yang mungkin dilakukan oleh anak-anak terbagi menjadi tiga.
“Pertama, kekerasan fisik seperti tindakan memukul, menendang, menonjok. Kedua, kekerasan verbal seperti mengejek teman dengan kata-kata kasar atau menyinggung. Ketiga, kekerasan cyber, yaitu kekerasan yang dilakukan melalui dunia maya,” jelas Jane.
“Tanda-tanda spesifik sebenarnya tidak ada, tapi ada beberapa hal yang perlu diobservasi orangtua,” ujar Jane saat dihubungi oleh Nakita, Jumat (29/9/2023).
Adapun tanda-tanda yang perlu diobservasi adalah sebagai berikut:
Orangtua harus memantau bagaimana cara anak mengekspresikan emosinya, apakah anak sering memukul, melempar, menonjok, dan sebagainya.
“Orangtua juga perlu melihat apakah Si Kecil bisa meregulasi emosinya atau tidak. Kalau misalkan tidak bisa, ditambah orangtua juga tidak memvalidasi emosi yang dirasakan anak, orangtua justru memarahi anak karena merasa emosi tertentu, atau bahkan memukul supaya anak diam, itu yang perlu diwaspadai,” ungkap Jane.
Terakhir, Jane menyarankan para orangtua untuk bertanya kepada guru di sekolah.
“Kita juga perlu cross check ke guru apakah kalau si anak mengalami konflik dengan teman di sekolahnya, bagaimana responnya. Apakah sangat mudah marah atau juga menunjukkan kekerasan,” kata Jane.
Pertama, yang harus dilakukan orangtua adalah memvalidasi emosi anak.
“Misalnya, orangtua bilang ‘Kakak marah? Mama tahu kakak kesal, saking kesalnya sampai memukul, ya?’. Jadi, dengan begitu, kita validasi dan terima emosinya, dan menunjukkan empati bahwa kita paham ia saking marahnya sampai memukul orang,” ujar Jane.
Namun, selain itu, Jane juga mengingatkan para orangtua untuk mengajak anak diskusi bahwa dengan memukul bisa merugikan orang lain dan tersakiti.
“Pun kalau kita dipukul orang lain juga kita tidak akan terima. Tapi, yang penting adalah validasi, tunjukkan empati dan tunjukkan bahwa kita memahami apa yang dia rasakan,” sambungnya.
Dalam hal ini, observasi adalah hal yang sangat penting.
Tapi, jika orangtua sudah memvalidasi emosi anak dan juga mengajarkan bagaimana cara mengendalikan atau meregulasi emosinya, tapi tetap tidak berhasil, maka ini yang perlu dikonsultasikan secara langsung pada psikolog anak.
Pertama, orangtua tidak boleh memberi contoh.
“Misalnya, kita bertengkar dengan pasangan, jangan lakukan kekerasan baik verbal maupun fisik.
Pun ketika sedang menegur atau marah pada anak, orangtua sebaiknya tidak memberikan hukuman atau tindakan yang mengarah pada kekerasan, seperti memukul atau menyentil. Itu yang paling utama,” jelas Cindy Linardi, M.Psi, Psi, CGA, Psikolog Klinis Anak dan Remaja RS Pondok Indah - Bintaro Jaya.
Kedua, pantau tontonan yang dikonsumsi anak setiap hari.
“Sekarang banyak sekali kartun yang isinya tidak cocok untuk anak-anak.
Jadi, pastikan orangtua tidak terlena dengan tampilan yang animasi atau kartun, kemudian pasti cocok dengan anak, itu belum tentu,” ujar Jane.
Orangtua perlu memastikan dengan menonton kartun tersebut terlebih dahulu, apakah sudah sesuai dengan usia anak.
Jika sudah sesuai, baru boleh diberikan kepada anak.
“Sebenarnya tidak ada yang spesifik. Tapi, pastikan ketika anak sedang marah atau baru saja melakukan tindakan kekerasan, orangtua tidak berteriak atau sambil mengancam. Itu sama saja orangtua melakukan kekerasan verbal,” ungkap Jane.
“Jadi, orangtua perlu berbicara dengan nada yang baik, menunjukkan empati, menunjukkan bahwa orangtua paham dan menerima emosi dan marah anak.
Sampaikan bahwa emosi dan marahnya tidak masalah, setiap orang sangat wajar mengalaminya, tapi yang tidak bisa diterima adalah tindakan kekerasannya,” ujar Jane.
“Jadi, anak belajar bahwa yang salah adalah tindakan kekerasannya dan bukan emosinya,” lanjutnya.
Selain dari orangtua, pihak sekolah juga berperan penting mencegah dan memberantas perilaku kekerasan oleh anak.
Menurut Jane, sekolah bisa secara rutin mengadakan seminar tentang bullying, kekerasan, dan juga efeknya seperti apa.
Hal ini perlu dilakukan secara rutin supaya bisa mengedukasi murid-murid di sekolah.
Kedua, pastikan tenaga pengajar atau guru tidak memberikan hukuman fisik atau mengandung kekerasan pada murid-murid yang melakukan kesalahan atau melanggar peraturan.
“Masa orientasi siswa (MOS) perlu diawasi oleh guru dan tidak ada kekerasan yang dilakukan oleh senior pada juniornya,” ujar Jane.
Jane mengatakan hal terpenting untuk mencegah kekerasan oleh anak adalah internal family.
“Jangan sampai orangtua sendiri yang melakukan kekerasan pada anak. Sebab, jika orangtua bersikap demikian, tentu anak setiap hari mendapat role model yang melakukan kekerasan,” kata Jane.
Ya, perlu Moms dan Dads ketahui kalau anak memiliki kemampuan yang sangat cepat menginternalisasi kekerasan.
Oleh karena itu, pastikan lingkungan terdekat anak, baik pertemanan, sekolah termasuk guru-guru, hingga tempat tinggalnya juga sebisa mungkin minim kekerasan.
Terakhir, yang bisa kita lakukan adalah mengendalikan tontonan anak.
“Orangtua harus menonton dulu tayangan kartun atau film, sebelum memberikannya pada anak. Jadi, jangan sampai tertipu dengan kedok animasi dan kartun. Jadi, semuanya perlu dimulai dari lingkungan terkecil terlebih dahulu,” tutup Jane.
Baca Juga: Cara Efektif Mencegah Kekerasan dalam Keluarga yang Berakibat Fatal pada Kesehatan Mental Anak
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
Penulis | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR