"Pemohon mengajukan untuk diberi izin mengikrarkan talak kepada istrinya dan pemohon meminta kepada pengadilan untuk ditunjuk sebagai pengasuh dan pemelihara dari anaknya tersebut agar berada di dalam asuhan dari pemohon," ungkap Taslimah.
"Dua-duanya," lanjut Taslimah.
Mengacu pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, meskipun pasangan suami istri telah bercerai, mereka tetap memiliki kewajiban untuk memelihara dan mendidik anak-anak mereka dengan mempertimbangkan kepentingan terbaik bagi anak.
Kewajiban ini berlaku hingga anak tersebut menikah atau dapat hidup mandiri.
Hal ini menunjukkan bahwa kasih sayang orang tua terhadap anak-anak mereka tidak boleh dihalangi oleh pihak manapun, meskipun mereka telah berpisah.
Namun, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tidak memberikan penjelasan rinci mengenai kepada siapa hak asuh anak jatuh setelah perceraian.
Dalam undang-undang ini hanya disebutkan bahwa jika terjadi perselisihan terkait hak asuh atau penguasaan anak, maka pengadilan yang akan memutuskan hal tersebut.
Pengaturan mengenai hak asuh anak dapat ditemukan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI).
Pasal 105 KHI menyatakan bahwa hak pemeliharaan anak yang belum mumayyiz atau belum berusia 12 tahun berada pada ibunya.
Setelah anak tersebut berusia 12 tahun, maka keputusan akan diserahkan kepada anak untuk memilih apakah ia ingin diasuh oleh ayah atau ibunya.
Selain itu, terdapat yurisprudensi terkait hak asuh anak di bawah umur yang menetapkan bahwa hak asuh anak biasanya jatuh kepada ibunya.
Baca Juga: 'Masih Sayang Paula?' Ingin Tepis Baim Wong Duda, Justru Ini Jawabnya
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR