Nakita.id - Beberapa orangtua bertanya-tanya, mengapa anaknya kesulitan dalam melakukan hal-hal tertentu.
Contohnya menalikan sepatu, menangkap bola, berjalan di titian, menggunakan gunting dan peralatan makan seperti sendok dan garpu, serta aktivitas lain yang berkaitan dengan motorik halus maupun kasar.
Nah, bila itu yang terjadi, maka ada kemungkinan si kecil mengalami dyspraxia, yang berasal dari kata “dys” berarti tidak mudah atau sulit dan “praxis” artinya bertindak atau melakukan.
Sedangkan nama lain dyspraxia adalah Development Coordination Disorder (DCD), Perceptuo-Motor Dysfunction, dan Motor Learning Disability.
Pada zaman dulu lebih dikenal dengan nama Clumsy Child Syndrome.
Menurut penelitian secara medis, dyspraxia adalah gangguan atau ketidakmatangan dalam mengorganisasi gerakan, akibat kurang mampunya otak memproses informasi, sehingga pesan-pesan tidak secara penuh/benar disampaikan.
Dyspraxia memengaruhi perencanaan apa-apa yang akan dilakukan dan bagaimana melakukannya.
Hal ini mengakibatkan timbulnya kesulitan dalam berpikir, merencanakan, dan melakukan tugas-tugas motorik atau sensori.
Informasi mengenai penyebab dyspraxia masih sangat sedikit.
Para profesional menduga, penyebabnya adalah ketidaksempurnaan perkembangan neuron motor di otak.
Neuron-neuron motor adalah sel-sel saraf yang berfungsi menghantarkan sinyal-sinyal dari otak ke otot, yang pada akhirnya memungkinkan kita bergerak.
Ada kemungkinan juga, neuron-neuron ini gagal membentuk suatu koneksi yang menyebabkan sinyal dari otak tidak sampai ke otot, sehingga anak gagal merespons sesuai permintaan.
Ada beberapa kesulitan yang umumnya diperlihatkan penyandang dyspraxia.
Salah satunya kesulitan dengan koordinasi motorik halus.
Kesulitan dalam keterampilan motorik halus ini akan menyebabkan munculnya kesulitan lain yang lebih luas seperti kesulitan menggunakan garpu dan pisau, mengancingkan baju, menalikan sepatu, memasak, menyikat gigi, dandan, menata rambut, membuka-menutup stoples, membuka-mengunci pintu, dan melakukan pekerjaan rumah tangga.
Selain itu, anak juga mengalami kesulitan dengan koordinasi motorik kasar seperti berjalan, berlari, memanjat, dan melompat.
Kesulitan dyspraxia
Seseorang dengan dyspraxia mungkin akan memiliki kesulitan dalam mengatur kecepatan, keseimbangan, menggabungkan beberapa gerakan dalam sekuen waktu, mengingat sekuen gerakan, bermasalah dengan keberadaan ruang (jarak dan prediksi), bingung menentukan kanan kiri, clumsy, dan kelemahan dalam kelenturan otot.
Meski anak memiliki kesulitan motorik seperti yang disebutkan di atas, orangtua sebaiknya tidak terlalu mudah menjatuhkan vonis dyspraxia kepada anak, mengingat tidak semua kesulitan motorik anak berkaitan dengan dyspraxia.
Anak patut dicurigai menyandang dyspraxia bila selain mengalami masalah motorik di atas secara signifikan, ia juga mengalami berbagai gangguan lain seperti kesulitan mengingat instruksi dan menyalin tulisan dari papan tulis; juga tidak dapat menangkap konsep seperti “di bawah”, “di atas”, dan “di dalam”.
Selain itu, anak dyspraxia mengalami kesulitan dalam berkata-kata maupun mengekspresikan diri.
Malah, sebagian anak penderita dyspraxia mempunyai sifat terlalu sensitif dengan sentuhan.
Sebagian lain mengalami articulatory dyspraxia, yang menyebabkan mereka sukar berbicara dan mengeja.
Semua itu dapat menghambat anak saat bergaul maupun belajar.
Untuk lebih meyakinkan, orangtua dapat berkonsultasi dengan psikolog atau terapis.
Setelah didiagnosis dyspraxia, anak wajib melakukan serangkaian terapi seperti sensori integrasi, terapi okupasi, dan atau terapi wicara.
Lamanya terapi sangat bergantung pada sejauh mana keterlambatan dan tingkat keparahan yang terjadi.
Selain pada kualitas dan kuantitas terapi yang diberikan.
Jika keterlambatan perkembangan yang muncul hanya sedikit, maka dengan kualitas terapi yang bagus dan intensitas pertemuan 2x seminggu, maka dalam waktu 3--6 bulan sudah mampu mengembalikan tingkat perkembangannya di usia yang seharusnya.
Yang jelas, gangguan dyspraxia tidak dapat disembuhkan dan akan terus ada hingga anak dewasa.
Meski begitu, dengan serangkaian terapi yang dilakukan sejak dini, berbagai kesulitan dan kekurangan anak dapat diminimalisasi, sehingga anak dapat menjalani hidupnya dengan normal.
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
KOMENTAR