Meski MSG tidak menimbulkan efek sakit kepala, tapi mengonsumsi MSG dalam tingkat tinggi berisiko terkena penyakit lain.
Hal tersebut pertama kali ditemukan pada tahun 1968 ketika seorang peneliti biomedis menulis untuk New England Journal of Medicine bahwa terdapat penyakit aneh yang ia kembangkan setelah makan di restoran Cina, khususnya yang dimasak dengan MSG.
Saat itu, setelah mengonsumsi makanan yang mengandung MSG timbul gejala seperti, mati rasa, badan menjadi lesu, dan jantung berdebar, yang kemudian disebut dengan 'sindrom makanan Cinta'.
Setelah penemuan itu dipublikasikan, baru semua orang mulai melakukan penelitian mengenai kaitan MSG dan kesehatan.
BACA JUGA: Anak Nia Ramadhani Berhasil Mencuri Perhatian Khalayak Berkat Gaun yang Dipakai
Setelah muncul sindrom makanan Cina, lalu diamati dan diteliti, ternyata hal itu tidak ada buktinya.
"Belum ada bukti pasti tentang hubungan antara MSG dan gejala-gejala ini," ujar Rubin.
Meskipun demikian, sekitar 50 tahun setelah sindrom itu pertama kali disebutkan, 4 dari 10 konsumen AS masih mengatakan mereka menghindari MSG.
Hal tersebut berdasarkan ungkapan dari International Food Information Council.
BACA JUGA: Posisi Gendong Favorit Zaskia Adya Mecca dapat Membuat Si Kecil Nyaman
Agar konsumsi MSG tidak berlebihan dan tidak menganggu kesehatan, European Food and Safety Authority (EFSA), pada tahun 2017 menyatakan bahwa asupan MSG harian yang dapat diterima (Acceptable Daily Intake/ADI) yaitu kurang dari 30mg/kg berat badan.
"Ini berarti untuk orang berat badan 77 kg, maka asupan MSG kurang dari 2100 mg per hari akan aman," ujar Barry Sears, PhD, penulis seri buku Diet Zone.
"MSG jarang ditambahkan dalam jumlah besar ke makanan apapun dan MSG aman dalam jumlah rendah hingga sedang," imbuh Barry menjelaskan. (*)
Serunya Van Houten Baking Competition 2024, dari Online Challenge Jadi Final Offline
Source | : | Reader's Digest |
Penulis | : | Finna Prima Handayani |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR