Nakita.id - Setiap orangtua pasti ingin anaknya tumbuh menjadi anak dengan pribadi yang baik.
Oleh karena itu, orangtua kerap kali memberikan kritik pada anak jika mereka melakukan tindakan yang kurang menyenangkan ataupun menyimpang dari norma dan aturan.
Berbicara mengenai kritik, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., Psikolog anak & keluarga
Klinik Terpadu Fakultas Psikologi UI Depok mengungkapkan pengalamannya menangani seorang anak yang terlibat dalam suatu masalah psikologi, akibat kritik dari orangtuanya.
Baca Juga : Konsumsi 8 Makanan Ini Jika Ingin Miliki Anak Kembar, Makanannya Enak!
Perempuan yang akrab disapa Nina ini bercerita bahwa kliennya tersebut datang kepadanya karena merasa anak laki-lakinya yang berusia sekitar 12 tahun, cenderung memiliki sifat feminin.
Anak laki laki dari kliennya tersebut bahkan lebih nyaman bergaul dengan anak perempuan daripada anak laki-laki.
Bahkan anak tersebut dikucilkan dalam pergaulan, oleh anak laki-laki lainnya.
Tak hanya itu, anak laki-lakinya itu cenderung mengalami perubahan suara, layaknya seorang anak perempuan.
Setelah Nina menggali lebih lanjut melalui serangakain tes psikologi, ternyata awal mula perubahan sikap dan prilaku anak laki-laki tersebut, salah satunya dipicu oleh tindakan keliru dari ibunya sendiri.
Baca Juga : Inilah Bentuk Stimulasi pada Bayi Usia 6 Hingga 9 Bulan untuk Melatih Kecerdasannya
Nina menuturkan ibu dari anak tersebut sering memberikan kritik mengenai sifat atau prilaku sang anak yang dinilainya seperti perempuan.
Naasnya, kritik tersebut dilakukan oleh sang ibu berulang kali, hingga image tersebut melekat dan mempengaruhi konsep diri anaknya.
Baca Juga : Maia Estianty Unggah Foto Jadul, Pongki Barata: Mirip Adegan Film Warkop!
Baca Juga : Supaya Wajan Teflon Mulus dan Awet, Ini Trik Ampuh yang Bisa Dicoba
"Ibunya itu selalu ngomong pada anaknya, 'Kok kaya cewe banget sih!' Selama kurun waktu bertahun tahun."
Akhirnya anak tersebut memang memproyeksikan image yang diberikan ibunya ke prilakunya sehari hari.
Nah Moms, sebenarnya menilai atau mengkritik seorang anak dengan image tertentu bisa dikategorikan sebagai tindakan labeling kepada anak.
"Labeling itu sama seperti memberikan label di kaleng makanan," papar Nina.
Baca Juga : Pentingnya Pembelajaran Seni yang Terintegrasi Untuk Kecerdasan Anak
Jadi, labeling pada anak merupakan tindakan saat kita menempatkan kata-kata tertentu pada seseorang, dalam hal ini anak yang seakan-akan memberikan merek bahwa dia adalah seperti itu.
Misalnya, melabel anak dengan sebutan 'anak malas' saat anak terlihat tidak bergairah untuk belajar. Atau melabel anak dengan sebutan 'anak bandel' dan lain sebagainya.
Jika seperti itu, bukan sebuah kebetulan anak akan memproyeksikan bahwa dirinya, "Saya ini anak bandel." Jika dia dilabel malas, "Emang, saya kan anak malas. Ngapain belajar."
Baca Juga : 4 Cara Mencegah Serangan Stroke, Yuk Terapkan Sekarang Juga!
Baca Juga : #LovingNotLabeling: Hati-hati, Memberikan Pujian Pada Anak Bisa Berbahaya Bila Dilakukan Dengan Cara Ini
Satu hal yang perlu Moms ketahui, pelabelan pada anak tidak melulu berisi cap bermakna negatif semacam nakal, bandel, malas, jorok dan seterusnya.
Mengeluarkan kata-kata bermakna positif seperti pintar, rajin, cantik, hebat, kuat dan sejenisnya termasuk dalam kategori melabel anak.
Memang, label negatif lah yang akan sangat berpengaruh negatif pula pada anak.
"Kalau kata negatif, efeknya lebih negatif, konsep dirinya jadi berkurang, ia seringkali jadi minder dia tidak bisa mengubah prilaku menjadi lebih baik lagi, sehingga ia bisa putus asa," tambah Nina.
Siapa pun dan berapa pun usia seseorang, pastilah tidak suka mendapat cap negatif.
Baca Juga : Benarkah Anak Laki-laki Lebih Pintar Matematika? Ini Faktanya!
Apalagi anak yang masih belum memiliki filter terhadap penilaian dari lingkungan.
"Para ahli mengatakan anak yang masih di bawah usia 12 tahun itu masih sangat mudah terpengaruh."
"Bisa dibilang di bawah 12 tahun anak anak tidak terlalu memfilter apa yang disebutkan atau dibicarakan orang lain," jelas Nina.
Parahnya, anak yang mendapat label negatif bukan tak mungkin akan memiliki konsep diri yang negatif pula.
Baca Juga : Ini Alasan Pinkan Mambo Tak Berikan ASI Ekslusif Setelah 2 Minggu Lahiran
Anak yang sering dibilang nakal secara terus-menerus, mau tak mau akan memosisikan dirinya sebagai anak yang nakal.
Terlebih jika yang memberi cap semacam itu adalah orang-orang terdekatnya, terutama orangtua.
"Sebetulnya label yang paling signifikan adalah label dari orangtua dan keluarga, karena bagaimana pun itu adalah lingkungan terdekat anak," tegas Nina.
Padahal, konsep diri seseorang atau bagaimana seseorang memandang dan merasakan dirinya sendiri, akan menjadi pijakan bagi yang bersangkutan saat menjalani kehidupannya.
Baca Juga : Catat Moms! Riset : Anak yang Diberi ASI Lebih Pintar, Sukses, dan Kaya
Konkretnya, anak yang memandang dirinya dengan konsep diri positif lebih mudah mengembangkan kemampuan yang ia miliki.
Sebaliknya, anak yang memandang rendah harga dirinya maka cenderung memilih jalan hidup yang mudah, tidak berani mengambil risiko, dan sulit untuk mengukir prestasi.
Itulah mengapa orangtua harus menghindari memberi label pada anak anaknya. Karena cinta itu bukan melabel. #LovingNotLabeling
Baca Juga : Selalu Optimis, Jadi Resep Mudah Untuk Menyehatkan Jantung Sampai Tua!
Penulis | : | Nia Lara Sari |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR