Nakita.id – Moms, tentu pernah mendengar istilah bahwa ucapan orangtua adalah doa untuk anak.
Tak dapat dipungkiri beberapa orangtua percaya akan istilah tersebut.
Karenanya tak jarang kan kita mendengar atau melakukan, "Ih, anak mama pintar sekali deh. I love you."
Ada juga, "Wow, hasilnya amazing sekali nak! Pintar, hebat, keren sekali anak ayah satu ini."
Pujian seperti di atas, juga kata ‘cantik’, ‘tampan’, ‘pintar’, dan masih banyak lainnya, yang diberikan orangtua kepada anak mempunyai harapan kata-kata tersebut akan menjadi doa dan bisa terwujud di masa mendatang.
Tapi siapa sangka, bila kalimat, ungkapan pujian, dengan kata-kata tersebut ternyata bisa merujuk pada tindakan labeling yang justru memiliki pengaruh negatif pada perkembangan kualitas dan konsep diri anak.
Baca Juga : Suami Ayu Dewi Bos Katering Asian Games 2018, Dapur Rumahnya Kecil Banget!
Ajeng Raviando, Psi, seorang psikolog anak dan keluarga mengatakan, saat ini tindakan labeling tidak hanya menggunakan kata-kata negatif seperti ‘malas’, ‘nakal’, ‘bodoh’, tetapi juga kata-kata positif, seperti ‘cantik’, tampan, ‘pintar’, dan lainnya.
Ia bahkan mengaku saat ini lebih sering menemui orangtua melabel anaknya dengan kata-kata yang positif dibandingkan dengan kata-kata negatif.
Padahal kedua hal tersebut sama-sama berbahaya terhadap kualitas hidup dan konsep diri anak.
“Zaman dulu namanya labeling itu biasanya lebih ke yang negatif, tapi sekarang saya kerap menemukan orangtua yang melakukan labeling kepada anaknya dengan kata-kata juga kalimat positif."
"Mungkin maksudnya orangtua ingin memotivasi anak, sayangnya jika labeling tersebut tidak sesuai dengan potensi anak justu kasihan untuk si anak. Dirinya tidak tahu potensinya dia dimana,” ujar Ajeng saat ditemui Nakita.id di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Senin (10/9).
Baca Juga : Riset Buktikan 90% Manusia Tidak Tahu Dirinya Mengalami Gangguan Fatal Ini
Baca Juga : 4 Cara Mencegah Serangan Stroke, Yuk Terapkan Sekarang Juga!
Menurut Ajeng, pemberian label positif sebenarnya tidak masalah selama tidak membebani anak.
Selain itu, penting untuk orangtua menjelaskan lebih spesifik dari pemberian label yang dimaksud.
“Misalnya ‘Dia pintar banget’, kata pintar itu luas dan akhirnya bisa menyesatkan anak. ‘Katanya aku kan pinter, kok aku sainsnya jelek?’. Lalu dia murung. Nah, oleh karena itu orangtua harus memberikan penjelasan lebih spesifik. ‘Oh, pintar bahasa inggris maksudnya’,” jelas Ajeng.
Senada dengan Ajeng, Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Psi., Psikolog Anak dan Keluarga, dari Universitas Indonesia, menjelaskan bahwa efek labeling itu tidak melulu negatif. Ada juga yang positif.
Labeling bisa memotivasi seseorang untuk mencapai seperti yang diharapkan, sebab labeling sama seperti memberikan label di kaleng makanan.
Dimana kita menempatkan kata-kata tertentu pada seseorang yang seakan-akan memberikan merek bahwa dia adalah seperti itu.
Baca Juga : Meniup Makanan Bayi Sesungguhnya Tidak Dianjurkan, Akan Menularkan Bakteri Ini!
Namun di balik efek positif tersebut, tersimpan pula efek negatif bila tindakan labeling diberikan secara terus-menerus dan tanpa pembuktian.
“Efek negatif labeling itu banyak yang negatif. Efek negatif labeling itu adalah membatasi,” ujar Anna Surti Ariani atau yang akrab disapa Nina ini saat ditemui dikawasan Depok, Jawa Barat, pada Kamis (13/9).
Nina menjelaskan setidaknya ada 3 efek negatif yang perlu disadari dari tindakan labeling pada anak.
Pertama, membatasi minat
Saat orangtua terlanjur memberikan label pada anak, maka secara tidak langsung label tersebut akan dihayati dan dipahami anak sebagai cerminan dirinya.
“Jika orangtua bilang ‘Oh dia adalah penari yang handal’, bisa saja dia termotivasi untuk memperbaiki tarinya tetapi dia tidak terlalu berminat untuk mecoba hal-hal lain. Karena dalam dirinya ‘Kan saya penari bukan pemain basket, bukan pemasak’."
"Padahal bisa saja dia akan bagus di dunia dunia lainnya yang selama ini tidak disematkan oleh orangtua,” jelas Nina.
Baca Juga : Bisa Berbahaya, Jangan Abaikan 10 Gejala Sederhana Ini Ketika Terjadi Pada Anak
Baca Juga : Supaya Wajan Teflon Mulus dan Awet, Ini Trik Ampuh yang Bisa Dicoba
Kedua, membatasi konsep diri
Salah satu efek yang paling berbahaya dari tindakan labeling pada anak ialah membatasi konsep diri anak.
Seperti yang kita ketahui, masa kanak-kanak adalah masa dimana dia tumbuh dan berkembang.
Seharusnya pada usia ini dia lebih banyak mengeksplor kemampuan dan mulai mencoba menemukan jati dirinya sendiri.
Namun dengan adanya pemberian label, dia akan terbatasi oleh label-label yang diterimanya.
“Contohnya ketika seorang anak dilabel pemalas, maka dia akan merasa ‘Oh iya juga ya saya ini orang yang pemalas, saya ini memang ga semangat melakukan hal-hal lain’. Itu tentu akan membuat kita menjadi sulit mengubah perilaku malasnya tersebut dan buat si anak itu akan menjadi pembenaran bahwa apa yang dia lakukan karena dia ini adalah seorang pemalas,” ujar Nina.
Baca Juga : Hati-hati, 6 Nama Bayi Populer di Indonesia Ini Ternyata Dilarang di Luar Negeri
Ketiga, membatasi cara orang memperlakukan anak
Nina menjelaskan bahwa pembatasan tidak hanya dirasakan oleh anak tetapi juga orang disekitar anak.
Misalnya oleh guru atau teman-teman sekolahnya.
“Ketika seorang anak dilabel jagoan matematika. Kadang guru-guru tidak akan terlalu berminat mengajari dia, ‘Sudahlah toh dia sudah jago matematika, saya mengajari saja anak anak lain yang memang masih kesulitan’. Jadinya anak tidak diberi stimulasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Akhirnya semua sama-sama membatasi,” jelasnya.
Tidak hanya pada ketiga hal tersebut, Nina menegaskan efek negatif tindakan labeling pada anak dapat membatasi dari segala macam hal kehidupannya.
Baca Juga : Jangan Abaikan Moms! Ini Ciri-Ciri Kembung Tanda Kanker Ovarium
Baca Juga : Penting Diketahui, Ini 5 Peralatan Dapur yang Jadi Sarang Bakteri!
Perlu dipahami bahwa efek labeling tidak hanya dapat diberikan oleh orangtua saja tetapi juga orang lain disekitar anak.
“Sebetulnya efek label yang paling signifikan adalah label dari orangtua dan keluarga, karena bagaimana pun itu adalah lingkungan terdekat anak."
"Namun efek labeling itu juga bisa signifikan bila diberikan oleh significant others, atau oleh orang-orang disekeliling anak yang mempunyai pengaruh besar ke anak itu. Contohnya guru, keluarga besar, teman-teman, tetangga, dan lain sebagainya,” ujar Nina.
Meski begitu, besar efeknya bukan hanya dari kedekatan terhadap anak tetapi juga seberapa sering label itu disampaikan.
“Semakin sering itu disampaikan dan intonasinya juga keras, maka itu akan lebih berpengaruh pada anak dibandingkan yang lebih jarang dikatakan dan sambil lalu,” tambahnya.
Baca Juga : Anak Sandra Dewi Berusia 8 Bulan, Hati-hati Dengan Perubahan Ini Moms!
Para ahli mengatakan, anak yang masih di bawah usia 12 tahun masih sangat mudah terpengaruh oleh labeling yang dilekatkan padanya.
Hal itu terjadi karena, bawah 12 tahun anak-anak tidak terlalu memfilter apa yang disebutkan atau dibicarakan orang lain.
Oleh karena itu, Nina memperingatkan para orangtua agar lebih berhati-hati ketika berbicara pada anak-anak di rentang usia tersebut.
Sebab pada usia tersebut mereka bisa dengan sangat mudah percaya apa yang dikatakan oleh orang-orang terdekatnya.
“Kalau kita bicara perkembangan otaknya, area-area yang memproses pemikiran yang rasional dan lebih matang pada anak belum terlalu berkembang."
"Sebetulnya ketika kita mengatakan label-label itu ketika anak masih di bawah usia 12 tahun dia akan lebih mudah percaya, dibandingkan pada anak-anak yang sudah beranjak remaja atau pada orang dewasa,” pungkas Nina.
Jadi Moms, cintai anak bukan melabelnya. #LovingNotLabeling
Baca Juga : BPOM: Ini Daftar Produk Kosmetik Berbahaya, Ada Merek Terkenal Juga!
Penulis | : | Fadhila Auliya Widiaputri |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR