Nakita.id - Maraknya kasus pelecehan seksual di dunia ini seolah sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Mirisnya, korban bahkan pelakunya banyak yang merupakan anak di bawah umur, atau anak remaja atau dewasa yang belum menikah tetapi sudah matang dalam hal kesuburan.
Bahkan ada beberapa di antara pelakunya merupakan orang terdekat atau keluarga dekat dari korban sendiri.
Sehingga menimbulkan tanya apakah maksud dan juga tujuan pelaku melakukan pelecehan seksual terhadap orang terdekatnya.
Banyak di antara kasus pelecehan seksual berakhir pada kematian. Seperti yang terjadi di Indonesia beberapa waktu lalu.
Seorang pendaki gunung Singgalang meninggal dunia usai diperkosa oleh rekan dari kekasihnya saat memerlukan bantuan ketika ia mendaki gunung bersama kekasih dan juga kawan-kawannya.
Kejadian ini seolah menjadi lampu merah bagi orangtua dan juga pihak yang terkait, perihal bagaimana menanamkan sikap dan juga perilaku seksual pada anak-anak.
Pada era modern kini, pendidikan seksual masih saja dianggap tabu bagi sebagian masyarakat luas. Bahkan ada yang menilai bahwa membicarakan pendidikan seksual pada anak, merupakan hal yang 'saru' atau kurang lumrah.
Beberapa di antaranya bahkan berpikir bahwa membicarakan pendidikan seksual pada anak merupakan hal yang belum sesuai dan belum sepantasnya.
Padahal menurut sebuah penelitian seperti yang ditulis The Guardian, mencatat bahwa empat dari sepuluh anak remaja mengalami pelecehan seksual karena kurangnya pengetahuan perihal seksual semasa hidupnya.
Mengapa demikian?
Menurut sebuah penelitian, bila orangtua tak mengajarkan pada anak-anak mereka tentang pendidikan seksual, anak-anak akan belajar hal itu di tempat lain.
Parahnya, bila ia memiliki kesempatan, ia akan menyelewengkan adanya 'kesempatan emas' untuk mencoba atau bahkan melakukan seks bebas di belakang atau tanpa sepengetahuan orangtuanya, sehingga nilai moral dan nilai keluarga yang ditanamkan orangtua akan berangsur hilang.
Bahkan, mereka yang masih terlalu dini dalam perihal berhubungan seksual bisa menjadi korban lantaran ia tak mengetahui bahaya yang mengancam dari kegiatan seksual atau bahkan ia tak bisa menolak dan juga melawan apabila ada orang yang melakukan kekerasan seksual kepadanya.
Hal demikian terjadi lantaran kurangnya studi atau pendidikan mengenai seksual kepada anak.
Anak-anak yang menerima pendidikan seksual di rumah sebenarnya cenderung lebih kecil intensitasnya untuk terlibat dalam aktivitas seksual berisiko.
Ia akan lebih memilih menghindari berbagai ancaman media sosial dan juga munculnya gambar-gambar pornografi.
Itu terjadi karena anak-anak yang menerima pendidikan seksual di rumah mengetahui mana gambar yang bersifat pornografi dan mana gambar yang bersifat mendidik.
Sedangkan mereka yang tak memiliki pendidikan seksual dari rumah, lebih mudah terpapar gambar seksual di media.
Bahkan semakin besar pula kemungkinan mereka akan terlibat dalam perilaku seksual di usia yang lebih muda.
Anak-anak yang tak memiliki pendidikan seksual dari rumah juga cenderung sulit membedakan hal yang menyangkut pornografi dengan hal yang bersifat pendidikan seksual.
Ketika banyak paradigma orangtua menyebut bahwa mengajarkan atau memberi pendidikan anak-anak terhadap seksual adalah hal yang tabu, kenyataannya komunikasi terbuka dengan anak-anak, termasuk dalam hal seksual menyimpan keuntungan beragam.
Bahkan, mengajarkan pendidikan seksual pada anak cenderung berdampak bagi kesehatan dan lebih aman dalam jangka panjang.
Anak-anak yang menerima pendidikan seksual menunjukkan bahwa di antara anak-anak lain yang tidak menerima, ia jauh lebih siap menghadapi situasi yang berpotensi berbahaya bagi diri mereka.
Baca Juga : Karena Keteledoran Awak Kokpit, Banyak Penumpang Pesawat Alami Pendarahan di Telinga dan Hidung!
Dengan mereka berpartisipasi dalam segala bidang termasuk saat ia berada di luar rumah, mereka lebih bisa melindungi diri mereka dalam penyalahgunaan atau bahkan pelecehan seksual yang akhir-akhir ini kerap mengancam anak-anak.
Sebuah laporan yang dilakukan pada 6.000 anak hampir di seluruh dunia seperti yang dituliskan The Guardian menyimpulkan, "bahkan jika berhasil meski hanya dalam bagian kecil, prevalensi pelecehan seksual anak akan menurun. Keterampilan anak dan pengetahuan yang mereka pelajari tentang pendidikan seksual mampu mencegah dan membantu mereka dalam lingkup yang lebih luas, bagi anak-anak."
Seperti yang sudah berlaku di Inggris belakangan ini. Banyak sekolah yang memberi pendidikan seksual pada murid-muridnya.
Bahkan, Komite Pendidikan di Westminster menyerukan pada sekolah-sekolah untuk menwajibkan adanya pendidikan seksual.
Dengan harapan, sekolah dapat membantu anak-anak dan membantu orangtua agar anak-anaknya dijauhkan dari pelecehan seksual.
Selain di Inggris, di beberapa negara tertentu, anak-anak usia sekolah dasar bahkan sudah diajarkan bagaimana mengenali, bereaksi bahkan melaporkan situasi yang mengancam atau situasi pelecehan seksual dengan adanya program yang berbasis seksual di sekolah yang sengaja dirancang untuk mencegah pelecehan seksual.
Temuan dan penyuluhan itu merupakan hasil tinjauan data Cochrane dari uji coba program pencegahan di Amerika Serikat, Kanada, China, Jerman, Spanyol, Taiwan dan Turki.
Cochrane adalah jejaring peneliti dan profesional global yang sangat berpengetahuan luas dan tidak mencari keuntungan yang melakukan tinjauan sistematis atas penelitian kesehatan terbaik yang tersedia.
Konsep itu diterapkan di sekolah dengan menggunakan berbagai macam metode untuk mendidik anak-anak tentang pelecehan seksual, termasuk film, drama, lagu, boneka, buku dan bahkan permainan yang bersifat merusak moral secara seksual.
Anak-anak sejak sekolah dasar diajarkan mengenai peraturan tentang keselamatan, kepemilikan tubuh, bagian organ intim dan siapa saja yang boleh terlibat di dalamnya.
Dalam penelitian itu, disimpulkan bahwa ada sedikit bukti, anak-anak yang ikut atau terlibat dalam pelecehan seksual atau gangguan lainnya. Bahkan mereka sebagian besar merasa tak acuh dan tak terpengaruh.
Di Amerika Serikat, ada program one hour stop (berhenti, beri tahu seseorang, miliki tubuh dan lindungi diri sendiri). Program tersebut bermanfaat untuk memainkan peran mereka untuk melindungi diri sendiri.
Juga di Jerman. Sekolah-sekolah mereka melakukan program No Child’s Play. Turki menerapkan program yang disebut Sentuhan Baik, Sentuhan Buruk.
Secara global diperkirakan bahwa setidaknya satu dari 10 anak perempuan dan satu dari 20 laki-laki mengalami beberapa bentuk pelecehan seksual di masa kanak-kanaknya.
Mereka bukan pihak yang bisa disalahkan, karena mereka akan rentan terhadap depresi, bahkan terjadi gangguan pada napsu makannya.
Banyak kasus mengancam anak-anak yang membuat mereka bunuh diri atau lari ke narkoba dan alkohol saat masa kanak-kanaknya terenggut dengan pelecehan seksual.
Laporan utama dari Cochrane, penulis utamanya, Kerryann Walsh dari Queensland University of Technology di Brisbane mengungkap, "tinjauan ini mendukung kebutuhan untuk menginformasikan dan melindungi anak-anak terhadap pelecehan seksual".
"Namun penelitian yang sedang berlangsung diperlukan untuk mengevaluasi program pencegahan berbasis sekolah dan untuk menyelidiki hubungan antara partisipasi dan pencegahan yang sebenarnya dari pelecehan seksual anak. Untuk benar-benar mengetahui apakah program ini berfungsi atau tidak, kita perlu melihat penelitian yang lebih besar dengan dampak dan tindak lanjut sampai dewasa".
Studi yang telah dilakukan Cochrane telah diuji dan membuktikan bahwa program tersebut efektif dalam meningkatkan pengetahuan abadi anak-anak tentang pelecehan seksual.
Baca Juga : 'Dendam' Akibat Anaknya Tewas Di Jalanan Rusak, Ayah Ini Menambal Semua Lubang Jalan Seorang Diri
Dengan mengingat banyak dari pengetahuan yang mereka peroleh, anak-anak cenderung lebih waspada dan juga mampu menerjemahkan atau mempraktikkan serta mencegah bahaya yang mengancam, terlebih yang melibatkan pelecehan seksual.
Di Toronto, baru berlangsung pendidikan seksual sejak 2016. Kurikulum di Toronto memberikan pendidikan seksual dari hal-hal yang sangat kecil dan mendetil.
Kepala sekolah Thorncliffe Park, Jeff Crame memulai dari penamaan alat kelamin.
Dalam pelajarannya, anak-anaknya diberi penjelasan tentang penggantian beberapa kata, terutama pada alat kelamin.
Penis dan vagina diganti dengan kata 'bagian pribadi'.
Sekolah juga menukar anatomi dasar dengan pelajaran tentang rasa malu secara seksual.
Sementara beberapa orangtua juga setuju bahwa program yang ditegakkan pihak sekolah ini mambu membantu menjunjung nilai religius kesopanan.
Dengan mengajarkan istilah 'bagian pribadi', pada tahun awal, sekolah mampu mengirim pesan pada anak-anak bahwa nama asli tersebut tak dapat diterima secara luas dan anak-anak akan memiliki rasa takut dan malu untuk mengucapkannya karena mampu mengurangi harga dirinya.
Setelah itu, kurikulum melanjutkan dengan memberi pengetahuan tentang kesehatan sekual dengan konsep ketidakpantasan menyentuh atau memperlakukan bagian tubuh.
Sekolah menitikberatkan pada aturan bagian tubuh yang boleh diketahui orang lain.
Program tersebut efektif, karena dalam waktu singkat, pelecehan seksual bisa diwaspadai. Bahkan banyak di antara mereka yang sudah menerapkan ajaran pendidikan di sekolanya.
Bahkan ada pula yang sudah berani menyuarakan atau melaporkan penyalahgunaan atau tindak pelecehan seksual yang menimpanya.
Cara kecil yang dilakukan kurikulum di Toronto ini menekankan bahwa bila hanya dengan penggantian bahasa saja anak-anak sudah merasa malu dan waspada, bayangkan seberapa besar potensi aib mereka bisa tersentuh orang lain?
Anak-anak di sekolah-sekolah Toronto juga diajarkan menghargai tubuh mereka sendiri dan menghargai tubuh orang lain.
Di mulai dengan menyoroti perbedaan bentuk organ perempuan dan laki-laki, kemudian bagaimana cara berbicara dengan lawan bicara dengan tidak melihatkan kontak fisik dari organ-organ intim.
Di Indonesia, pendidikan semacam ini belum terlalu diterapkan.
Ada beberapa sekolah yang sudah menerapkan, tapi banyak pula yang belum menerapkan karena tidak adanya standar kurikulum mengenai pendidikan seksual.
Bila terjadi hal itu, orangtua merupakan kunci penting untuk melindungi anak dari adanya bahaya pelecehan seksual.
Orangtua bisa menjadi garda terdepan untuk mengajarkan anak-anak perihal pendidikan seksual dan bahaya pelecehan seksual yang bisa mengancam anak-anak.
Bagaimana caranya Moms dan Dads berbicara pada Si Kecil mengenai pendidikan seksual?
1. Mulai berbicara dengan anak tentang kehidupan seksual ketika usia mereka sudah mempu mencerna. Sekitar saat anak-anak menempuh pendidikan sekolah dasar dan hampir mencapai masa suburnya, jangan lewat dari itu.
2. Biasakan anak-anak membedakan tentang pendidikan seksual atau pornografi, serta buatlah anak-anak maklum dengan segala hal yang mengenai pendidikan seksual.
3. Menekankan bahwa pendidikan seksual tidak mengarah pada pergaulan bebas.
Baca Juga : Najwa Shihab Hadir di Acara Konser Syahrini? Begini Keseruan Mereka di Balik Panggung
Keingintahuan anak-anak tentang seksual merupakan cara dini belajar mengenai struktur dan bagian-bagian pada tubuhnya.
Pendidikan seksual akan membantu anak-anak memahami tentang bagian tubuh mereka dan merasa positif dengan tubuh mereka sendiri.
Bila telah diterapkan, anak-anak akan merasa tertarik dengan kehamilan dan juga bayi, daripada mekanisme tentang kegiatan seksual.
Membicarakan pendidikan seksual merupakan bagian dari memulai komunikasi terbuka dengan anak-anak.
Mulailah dari komunikasi dini, jujur dan terbuka. Berkomunikasi sevara normal seperti adanya dampak dan juga pengaruh serta penerapannya dan juga kenyataan dalam kehidupan yang ia lihat.
Ketika orang tua berbicara dengan anak-anak mereka tentang seksual, mereka harus memastikan bahwa anak-anak mendapatkan informasi yang tepat.
Orangtua harus menjadi sumber informasi pertama anak tentang seks. Memahami informasi yang benar dapat melindungi anak-anak dari perilaku berisiko saat mereka tumbuh dewasa.
Selain itu, sempatkan menanamkan nilai keluarga terhadap anak-anak dalam mengajarkan pendidikan seksual.
Misalnya hubungan seksual harus disimpan di pernikahan, ini dapat menjadi bagian dari diskusi seksualitas dengan anak.
Dampak Lain Tidak Adanya Pendidikan Seksual
1. Pelecehan seksual
Seperti yang kita tahu, anak-anak dengan pengetahuan minim tentang pendidikan seksual justru akan mendapatkannya dari tempat lain.
Tempat aman anak-anak mendapat pendidikan seksual yaitu dari orangtua dan di sekolah, lebih dari itu, anak-anak bisa saja terjerumus ke pendidikan seksual yang salah.
Baca Juga : Berhubungan Seksual Capai Orgasme Efektif Buat Tubuh Langsing, Cukup 3 Kali Seminggu!
Mereka akan kurang mampu menjaga dirinya sendiri dari raa malu dan tindakan seksual lain.
Bahkan banyak di antara anak-anak yang tak mendapat pendidikan seksual tidak mampu menolak atau menjaga diri mereka dari bahaya pelecehan seksual, karena tidak adanya kewaspadaan sejak dini.
2. HIV dan AIDS
Tidak menutup kemungkinan, anak-anak yang tidak memeroleh pendidikan seksual berisiko terjangkit penyakit menular seksual atau bahkan HIV dan AIDS.
Banyak anak-anak yang ketika beranjak remaja melakukan hubungan seksual secara bebas dengan mengabaikan dampak dan juga akibat yang sangat dekat dengannya.
Saat ini, peningkatan HIV dan AIDS menjadi urgensi tambahan pada kurangnya pendidikan seksual.
Yang menarik, banyak remaja yang terjangkit bukan karena keturunan, melainkan dari perilaku seksual yang mereka lakukan secara bebas.
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Source | : | The Guardian,about kids health,todays parent |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR