Baca Juga : Idap Leukemia, Bayi Ini Meninggal Setelah Keinginannya Dikabulkan
Selain kemoterapi, Rini juga menjalani terapi radiasi untuk membunuh sel kanker ganas yang ada dalam sel darahnya.
“Kemo terapi terus diradiasi juga di kepalanya, 11 kali, dan itu totalnya jadi 3 tahun,” lanjutnya.
Tak seperti era masa kini yang sudah praktis dan nyaman, saat itu Rini harus menempuh ratusan kilometer dari kediamannya di Pandeglang, Banten, menuju Rumah Sakit Kanker Dharmais menggunakan bus umum untuk menjalani pengobatan yang diperlukan.
“Dulu saya dari Pandeglang naik bus dulu ke Kalideres jam 5 shubuh, terus nyambung lagi ke Dharmais, dan itu saya sama ibu berdua,” ceritanya.
Hal itu diakuinya sangat berat, apalagi setelahnya ia harus merasakan mual dan muntah karena efek kemoterapi yang didapat.
“Kalau dulu saya lihat ibu saya itu beruntungnya orangnya kuat ya, enggak cengeng.
Baca Juga : Hadapi Perbedaan Pola Asuh Si Kecil dengan Mertua, Ini Trik Jitu Menghadapinya ala dr Reisa
Beliau yang antarkan saya untuk berobat.
Bisa dibayangkan itu dulu orang tua saya dan saya harus pulang pergi pengobatan, kemoterapi, dengan kepala botak dulu yah, itu saya bareng-bareng dengan penumpang yang lain mungkin orang lain mikir 'duh ini anak kuat banget ya", jelasnya panjang lebar.
Beruntungnya, kala itu pengobatan untuk kanker masih terbilang rendah biayanya jika dibandingkan saat ini.
Ia mengaku, orangtuanya menghabiskan uang sekitar lima juta rupiah untuk satu kali kemoterapi.
“Terbayang dulu habisnya berapa kan, saya saja sampai 6 protokol, yang satu kali protokol itu bisa lebih dari satu kali kemo,” tandasnya.
Hingga akhirnya pada 1999, Rini dinyatakan bebas dari pengobatan.
Baca Juga : Kanker Tulang Renggut Nyawa Sang Ayah, Nia Ramadhani Dapat Wasiat Agar Tak Lakukan 2 Hal Ini!
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Erinintyani Shabrina Ramadhini |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR