Nakita.id - Tak ada seorang pun yang ingin terkena penyakit berat dan mematikan, seperti kanker.
Namun hal ini ternyata harus dialami Natarini Setianingsih, salah satu pengidap kanker leukemia yang harus menerima bahwa dirinya terkena penyakit mengerikan itu di usia yang cukup muda.
Kabar tak mengenakkan itu ia terima di usia belia yakni 12 tahun, saat dirinya baru menginjakkan kaki di bangku sekolah menengah pertama.
Baca Juga : Leukemia Penyebab Kematian Tertinggi Pada Anak, Tapi Peluang Untuk Sembuh Lebih Besar Dari Orang Dewasa
"Awalnya waktu itu pucat, demam dan lemas seperti gejala typus. Selain itu perut juga udah membuncit, karena hati udah membengkak," demikian Rini, sapaan akrabnya memulai kisahnya pada Nakita.id saat ditemui dalam Media Briefing 'Kenali Gejala Dini Kanker Pada Anak' di Kementerian Kesehatan RI, Selasa (16/10).
Dokter sempat mendiagnosa dirinya terkena malaria, ada juga dokter yang mengatakan adanya masalah pada liver karena wajahnya menguning dan pucat seirong waktu.
Sadar dengan kondisi sang anak yang tak seperti biasanya, orangtua Rini pun berinisiatif membawa putrinya tersebut ke dokter untuk mendapatkan pengobatan medis yang diperlukan.
Baca Juga : Wahai Pengantin Baru, Lakukan Kebiasaan Baik Untuk Sperma dan Hormon Ini Untuk Dapat Momongan
Baca Juga : Sudah 3,5 Bulan Shakira Aurum Derita Leukemia, Denada Kembali Jual Rumah 2 Lantai!
“Saya tidak pernah berobat secara alternatif. Pertama ketauan kanker, langsung dibawa berobat ke dokter oleh orang tua,” tuturnya.
Kala itu orangtuanya membawanya ke spesialis penyakit dalam, lalu diperiksa dengan Bone Marrow Puncture (BMP) untuk mengetahui adanya sel kanker dalam tubuh.
Hasilnya, positif mengidap kanker. Rini pun harus rela menghabiskan masa remajanya dengan rutin menjalani rangkaian protokol kemoterapi yang melelahkan.
Hal itu diakuinya adalah masa yang sangat berat, apalagi pada masa itu (1996) informasi mengenai penyakit kanker masih amat minim didapatkan.
“Satu kali protokol itu bisa lebih dari satu kali kemo. Saya menjalani sekitar enam protokol dan itu menghabiskan waktu 2 tahun,” ujar Rini.
Baca Juga : Punya Istri Berkarir Cemerlang, Ternyata Suami Najwa Shihab Tak Sukai 3 Hal Ini Dari Sang Istri!
Baca Juga : Idap Leukemia, Bayi Ini Meninggal Setelah Keinginannya Dikabulkan
Selain kemoterapi, Rini juga menjalani terapi radiasi untuk membunuh sel kanker ganas yang ada dalam sel darahnya.
“Kemo terapi terus diradiasi juga di kepalanya, 11 kali, dan itu totalnya jadi 3 tahun,” lanjutnya.
Tak seperti era masa kini yang sudah praktis dan nyaman, saat itu Rini harus menempuh ratusan kilometer dari kediamannya di Pandeglang, Banten, menuju Rumah Sakit Kanker Dharmais menggunakan bus umum untuk menjalani pengobatan yang diperlukan.
“Dulu saya dari Pandeglang naik bus dulu ke Kalideres jam 5 shubuh, terus nyambung lagi ke Dharmais, dan itu saya sama ibu berdua,” ceritanya.
Hal itu diakuinya sangat berat, apalagi setelahnya ia harus merasakan mual dan muntah karena efek kemoterapi yang didapat.
“Kalau dulu saya lihat ibu saya itu beruntungnya orangnya kuat ya, enggak cengeng.
Baca Juga : Hadapi Perbedaan Pola Asuh Si Kecil dengan Mertua, Ini Trik Jitu Menghadapinya ala dr Reisa
Beliau yang antarkan saya untuk berobat.
Bisa dibayangkan itu dulu orang tua saya dan saya harus pulang pergi pengobatan, kemoterapi, dengan kepala botak dulu yah, itu saya bareng-bareng dengan penumpang yang lain mungkin orang lain mikir 'duh ini anak kuat banget ya", jelasnya panjang lebar.
Beruntungnya, kala itu pengobatan untuk kanker masih terbilang rendah biayanya jika dibandingkan saat ini.
Ia mengaku, orangtuanya menghabiskan uang sekitar lima juta rupiah untuk satu kali kemoterapi.
“Terbayang dulu habisnya berapa kan, saya saja sampai 6 protokol, yang satu kali protokol itu bisa lebih dari satu kali kemo,” tandasnya.
Hingga akhirnya pada 1999, Rini dinyatakan bebas dari pengobatan.
Baca Juga : Kanker Tulang Renggut Nyawa Sang Ayah, Nia Ramadhani Dapat Wasiat Agar Tak Lakukan 2 Hal Ini!
Kendati demikian, Rini harus menunggu selama 5 tahun agar bisa dinyatakan sembuh total.
“Tahun 1999 berhenti pengobatan, 5 tahun kemudian, dihitung dan diperiksakan ulang jika sudah tak ada sel kanker, saya dinyatakan sembuh total,” terangnya.
Diakuinya, penyakit kanker ini membawanya pada taraf hidup yang lebih baik dan memotivasinya untuk menjalani kehidupan yang lebih sehat.
Ia lebih menjaga pola makan, beristirahat yang cukup dan rutin berolahraga dengan melakukan senam dan bersepeda.
Rini lebih cermat memerhatikan asupan makanan dan rajin mengonsumsi sayuran, buah, serta menghindari makanan instan yang efeknya negatif untuk tubuh.
Rini juga membatasi asupan gula, garam dan lemak dan memilih makanan yang sehat.
Baca Juga : Rivaroxaban Angin Segar Cegah Penyakit Stroke, Ini Keunggulannya
Kini, Rini pun bisa kembali menikmati kehidupannya dengan normal dan melakukan aktivitas favoritnya yaitu traveling.
Baca Juga : Arsy Tak Sengaja Pecahkan Peralatan Make Up Aurel Hingga Menangis, Ini Respons Aurel
Kini Rini bekerja di bagian publikasi jurnal ilmiah Rumah Sakit Kanker Dharmais untuk lebih banyak mengedukasi masyarakat tentang penyakit kanker.
Wanita 34 tahun lalu ini juga telah mendirikan Cancer Buster Community, sebuah komunitas yang bertujuan untuk memotivasi seluruh pasien kanker dan keluarganya yang sedang berjuang menjalani pengobatan di seluruh Indonesia.
Baca Juga : Akibat Si Kecil Melewatkan Sarapan, Bisa Pengaruhi Kemampuan Otaknya
Komunitas ini berisi mantan penderita penyakit kanker yang telah berhasil melawan penyakit ganas tersebut.
Sejauh ini, komunitas yang dibangunnya rutin berkunjung ke rumah sakit yang ada di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta, Semarang, Bandung untuk menyemangati pasien kanker anak yang sedang berjuang untuk sembuh.
"Memang setiap mendengar kata kanker itu menyeramkan ya, tetapi nyatanya ada kok yang bisa sembuh. Jika menjalani pengobatan dengan benar dan semangat kanker anak bisa kok disembuhkan," pungkasnya.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Erinintyani Shabrina Ramadhini |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR