Mencegah Terjadinya Sindrom Ayah Baru

By Hilman Hilmansyah, Selasa, 3 Januari 2017 | 06:45 WIB
Mama bisa mencegah terjadinya sindrom ayah baru. (Dini Felicitas)

Tabloid-Nakita.com - Ternyata, Papa juga bisa mengalami baby blues. Riset yang dimuat di Journal of the American Medical Association menguak tentang riset yang dilakukan pada 28.004 pria. Ternyata satu dari sepuluh ayah mengalami baby blues. Sebanyak 25% dari jumlah itu terus mengalami depresi sampai si kecil berusia enam bulan.

Smith Paulson, psikolog klinis dan kepala peneliti dari Sekolah Kesehatan Virginia Timur di Norfolk, Amerika Serikat mengatakan, ada hubungan yang konsisten antara depresi Papa dan depresi Mama. Artinya, depresi pada Mama dapat menyebabkan depresi pada Papa. Dengan kata lain, Mama yang mengalami baby blues, rentan menularkan hal yang sama pada pasangannya. Nah, kondisi sindrom ayah baru ini umumnya terjadi pada saat bayi baru lahir hingga usia mencapai 3-12 bulan. Seiring waktu, kondisi ini sebenarnya akan hilang sendiri. Untuk menangani kendala ini, Papa perlu berupayakan terlibat lebih banyak dalam pengasuhan bayi sehingga Papa bisa merasa “lebih dibutuhkan”. Mama juga diharapkan bisa mengajak Papa bicara tentang perasaannya, yang terkait dengan bayi mereka.

Pada dasarnya sindrom ayah baru dapat dicegah dengan melakukan komunikasi yang terbuka antara Papa dengan Mama dalam pembagian tugas merawat bayi. Papa akan bahagia jika merasa dilibatkan. Sebaiknya, meskipun kini ada bayi di tengah-tengah Mama Papa, tetap luangkan waktu untuk berdua. Saat couple time, isi dengan obrolan yang romantis, ringan, serta membahas tentang hal-hal yang dirasakan berdua setelah bayi lahir serta pembagian peran mengasuh dan merawat si kecil. Niscaya, baik Mama dan Papa, akan merasa plong dan bahagia saat mengasuh si bayi.

Upaya lain untuk mencegah terjadinya sindrom ayah baru adalah terlibat dalam proses menyusui. Bukan berarti Papa menyusui bayi seperti yang dilakukan Mama kepada bayi, tapi Papa berperan dalam proses pengasuhan bayi pada seluruh tahap, pada masa hamil, bersalin, dan ketika bayi sudah lahir. Itulah yang disebut breastfeeding father. Lalu, apa saja bentuk-bentuk keterlibatan Papa di setiap tahapan itu? Berikut uraiannya;

Di masa hamil Papa ikut berinteraksi dengan janin. Usapan pada perut istri dan suara Papa ketika menyapa janin, dapat menjadi sebuah proses “perkenalan” awal yang baik. Ketika mencari fasilitas kesehatan untuk persalinan, temani istri periksa hamil dan lakukan senam hamil. Ini adalah sebuah langkah awal untuk menjadi seorang breastfeeding father. Hal-hal tersebut dapat meningkatkan keyakinan istri tentang ASI-nya dan menambah kenyamanan serta kedekatan hubungan suami-istri yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan keberhasilan menyusui.

Saat bersalin Pada fase ini, Papa mendampingi Mama ketika melahirkan. Setelah melahirkan, seorang mama pasti merasa lelah secara fisik dan mental. Selama proses IMD, Papa bisa memberikan dukungan berupa pujian dan kata-kata positif kepada Mama untuk meningkatkan rasa percaya dirinya bahwa ASI adalah yang terbaik.

Setelah bayi lahir Papa mampu berperan lebih luas dalam proses pengasuhan bayi dengan melakukan beberapa hal yang bersifat praktis, seperti mengganti popok, memandikan bayi, memijat bayi, menyendawakan bayi, menenangkan bayi yang sedang menangis, membawa bayi yang sedang menangis ke Mama untuk disusui, memijat pundak Mama, membawakan makanan atau minuman hangat untuk Mama, memberi pujian pada Mama, berbagi pekerjaan rumah tangga, mengurus bayi ketika Mama mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengurus dirinya sendiri, atau bila ada, serta mengurus kakak si bayi.

Narasumber: Dedi Setiawan, SKG, IBCLC., pegiat ASI dan direksi RSIA Ibnu Sina, Grogol, Jakarta