Sudah Pernah Terjadi Sebelumnya, Rupanya Seperti Ini Nasib Akhir dari Pandemi Terparah di Dunia Sebelum Corona

By Ela Aprilia Putriningtyas, Kamis, 23 April 2020 | 11:55 WIB
Ilustrasi virus corona (Pixabay.com)

Nakita.id - Dunia dibuat berduka karena adanya virus corona.

Banyak ilmuwan menggali perihal virus corona yang kini banyak memakan korban jiwa.

Hingga saat ini kepastian bagaimana pandemi ini akan berakhir belum diketahui pasti.

Berbicara tentang akhir pandemi, umat manusia sebenarnya telah berkali-kali melewatinya.

Saat peradaban manusia berkembang, begitu pula dengan penyakit menular.

Baca Juga: Selangkah Lebih Maju, Ikatan Dokter Indonesia Menyebut Bahwa Pengobatan Corona dengan Plasma Darah Wajib Diikuti Pemberian Obat Demi Pasien Covid-19 yang Kronis Bisa Sembuh Total

Banyaknya jumlah manusia yang hidup berdekatan dengan sesamanya dan juga hewan, menyediakan ruang bagi penyakit untuk berkembang biak.

Dan dengan semakin cepatnya mobilisasi antarmanusia, maka dengan mudah juga infeksi tersebar hingga akhirnya menyebabkan pandemi.

Sebelum COVID-19, dunia juga pernah mengalami beberapa pandemi. Berikut lima wabah terparah dan bagaimana mereka akhirnya berakhir.

Baca Juga: Bikin Satu Indonesia Bernapas Lega, Joko Widodo Akhirnya Sebar Rasa Optimisme Usai Kantongi Prediksi Wabah Virus Corona Segera Berakhir di Bulan Juli, Presiden RI: 'Dengan Catatan...'

1. Wabah Justinian

Tiga dari pandemi mematikan yang tercatat dalam sejarah, disebabkan oleh bakteri Yersinia pestis, organisme yang menyebabkan penyakit pes dan disebarkan melalui tikus.

Baca Juga: Tips-tips Menghadapi Parno Saat Jalani Kehamilan di Tengah Pandemi Corona Ala Mona Ratuliu

Infeksi fatalnya kemudian menyebabkan wabah di dunia.

Disebut sebagai wabah Justinian, ia pertama kali muncul di Konstatinopel, ibu kota Kekaisaran Romawi Timur, pada 541 CE, dan kemudian menyebar seperti api melintasi Eropa, Asia, Afrika Utara dan Arab.

Wabah ini menewaskan 30-50 juta orang yang diperkirakan hampir setengah dari populasi dunia kala itu.

"Orang-orang tidak mengetahui bagaimana cara melawannya kecuali menghindari mereka yang sakit," kata Thomas Mockaitis, profesor sejarah dari DePaul University.

"Mengenai bagaimana wabah berakhir, kemungkinan sebagian besar orang di tengah pandemi tersebut entah bagaimana mampu bertahan hidup dan mereka yang selamat memiliki kekebalan," ungkap Mockaitis.

Baca Juga: Sampai Bandingkan dengan Koruptor dan Napi Pembunuh, RSKO Bantah Beri Perlakuan Istimewa ke Nunung Saat Beri Izin Pulang ke Solo

2. Wabah Maut Hitam atau Black Death

Wabah akibat bakteri Yersinia pestis tidak pernah benar-benar berakhir dan kembali 800 tahun kemudian.

Wabah Maut Hitam atau Black Death yang menyerang Eropa pada 1347, menewaskan 200 juta orang hanya dalam empat tahun.

Meski belum diketahui dengan pasti bagaimana wabah ini bisa berhenti, tapi menurut para ahli, itu berkaitan dengan jarak.

Baca Juga: Ahli Bongkar Cara Menjaga Diri dari Virus Corona di Bulan Ramadan, Tak Cukup Hanya Memperhatikan Asupan Makanan

Hal ini dilihat dari bagaimana para pejabat berpikiran maju di kota pelabuhan Ragusa yang dikuasai Venesia, memutuskan untuk mengisolasi para pelaut yang baru datang sampai mereka terbukti tidak sakit.

Awalnya, para pelaut ditahan di kapal mereka selama 30 hari, yang kemudian dikenal dalam hukum Venesia sebagai trentino.

Seiring berjalannya waktu, orang-orang Venesia menambah waktu 'isolasi paksa' menjadi 40 hari atau quarantino--kata asli dari karantina yang kini dilakukan warga dunia saat menghadapi wabah.

"Cara tersebut tentu saja memberikan pengaruh dalam penanggulangan wabah," ujar Mockaitis.

3. Wabah Besar London

London tidak pernah beristirahat setelah Black Death. Wabah terus muncul di wilayah tersebut setiap 20 tahun mulai dari 1348 hingga 1665--secara total terjadi 40 wabah dalam 300 tahun.

Baca Juga: Rangkuman Jalan Sesama Belajar dari Rumah Lewat TVRI Kamis 23 April 2020, Jangan Lupa untuk Didampingi ya Moms!

Dan di setiap epidemi baru, sekitar 20 persen pria, wanita dan anak-anak yang tinggal di ibu kota Inggris itu terbunuh.

Pada awal 1500-an, Inggris menerapkan kebijakan pertama untuk memisahkan dan mengisolasi warga sakit.

Rumah-rumah yang dirasa memiliki wabah ditandai dengan tali jerami pada tiang di luar rumah.

Jika memiliki anggota keluarga yang terinfeksi, makan Anda harus membawa tiang putih ketika keluar rumah.

Anjing dan kucing yang dianggap berpotensi membawa penyakit pun dibunuh secara massal.

Wabah Besar 1665 merupakan wabah terakhir dan terparah London, membunuh 100 ribu orang dalam tujuh bulan.

Semua sarana dan hiburan umum ditutup dan pasien terinfeksi dipaksa tinggal di dalam rumah untuk mencegah penyebaran penyakit.

Salib merah dicat di pintu-pintu mereka beserta dengan permohonan ampunan: "Tuhan, kasihanilah kami".

Meskipun tampak kejam, tapi memaksa orang sakit diam di rumah mereka serta mengubur korban meninggal di kuburan massal, menjadi satu-satunya cara untuk mengakhiri Wabah Besar.

Baca Juga: Ramalan Wirang Birawa Kembali Terbukti, Sentil Perilaku Provokator yang Sebabkan Kerusuhan di Lapas Saat Pandemi Corona

4. Wabah cacar

Cacar pernah menjadi endemi di Eropa, Asia dan Arab selama beberapa abad--ancaman besar yang menewaskan tiga dari sepuluh orang yang terinfeksi dan meninggalkan bekas luka.

Cacar muncul di Amerika Utara pada 1600-an.

Orang-orang mengalami gejala demam tinggi, menggigil, sakit punggung, dan ruam.

Dimulai dari timur laut, cacar air kemudian memusnahkan hampir semua anggota suku asli Amerika.

Cacar menjadi epidemi virus pertama yang dapat diakhiri dengan vaksin.

Baca Juga: Sudah Terbukti Bahwa Puasa Aman untuk Ibu Hamil Asalkan Moms Perhatikan dan Lakukan Beberapa Hal Penting Ini Ya!

Pada 1770, dokter asal Inggris, Edward Jenner mengembangkan vaksin dari cacar sapi.

Itu membantu tubuh menjadi imun kepada cacar air tanpa menimbulkan penyakit.

5. Wabah Kolera

Pada awal hingga pertengahan abad ke-19, kolera mengoyak Inggris dan membunuh puluhan ribu orang.

Teori ilmiah yang berlaku saat itu mengatakan bahwa kolera disebarkan melalui udara busuk yang dikenal sebagai 'miasma'.

Namun, seorang dokter Inggris bernama John Snow menduga bahwa penyakit misterius yang membunuh banyak warga ini berasal dari air minum London.

Snow bertindak seperti detektif, menginvestigasi catatan rumah sakit dan kamar mayat untuk melacak lokasi tepat wabah.

Dia membuat grafik geografis kematian akibat kolera selama sepuluh hari dan menemukan fakta bahwa 500 infeksi fatal terjadi di sekitar pompa air di Broad Street, kota yang terkenal akan sumur air minumnya.

Baca Juga: Kerap Tuai Komentar Miring dari Netizen Setelah Nikahi Bule Belanda, Rina Nose Kini ‘Ditodong’ Momongan oleh Orangtua: ‘Tunggu Aja’

Dengan usaha keras, Snow meyakinkan para pejabat setempat untuk menghentikan penggunaan pompa di Broad Street.

Setelahnya, infeksi kolera pun berhenti.

Baca Juga: Biasanya Ungkap Firasat Soal Wabah Virus Corona, Wirang Birawa Tiba-tiba Tunjukkan Gelagat Tak Biasa, 'Gak Enak Hati'

Apa yang dilakukan Snow memang tidak langsung menyembuhkan kolera dalam semalam, tetapi setidaknya berpengaruh pada upaya global untuk meningkatkan sanitasi di wilayahnya dan menjaga air minum dari kontaminasi.

Meski saat ini, kolera jarang ditemukan di negara-negara maju, tetapi ia masih menjadi pembunuh utama pada negara-negara dunia ketiga yang tidak memiliki akses ke air minum bersih dan pengolahan limbah yang memadai.

Baca Juga: Selangkah Lebih Maju, Ikatan Dokter Indonesia Menyebut Bahwa Pengobatan Corona dengan Plasma Darah Wajib Diikuti Pemberian Obat Demi Pasien Covid-19 yang Kronis Bisa Sembuh Total

Artikel ini telah tayang di intisarionline, dengan judul: Menilik Akhir 5 Wabah Terparah di Dunia, Cacar yang Muncul Tahun 1600-an Jadi yang Pertama Diatasi Menggunakan Vaksin, Lalu Bagaimana Wabah pada Masa-masa Sebelumnya?