Awas! Stalking Pasangan di Media Sosial Dapat Berakibat Depresi dan Argumen Berujung Pembunuhan

By Cynthia Paramitha Trisnanda, Senin, 10 September 2018 | 07:40 WIB
ilustrasi pembunuhan (kolase nbc/nakita)

Ia memiliki pola pikir yang terbatasi dengan banyak hal.

Salah satunya adalah kebiasaan menyimpulkan suatu kejadian atau peristiwa yang ia lihat berdasarkan rasa keingintahuan yang tinggi.

Saat seseorang memiliki keingintahuan yang tinggi, ia pastinya akan makin menggebu-gebu dalam bermain peran, kemudian stalking, hasilnya sesuai harapan, dan reaksinya menjadi-jadi.

Kenyataannya, cara kerja pikiran manusia membutuhkan pertemuan pikir.

Terlepas dari intensitas melakukan media sosial, komunikasi secara langsung memiliki poin penting memperbaiki apa yang seharusnya tak dirusak hanya dengan pikiran kosong pengaruh media sosial.

Lebih lagi, perilaku stalker yang sulit ditebak, juga kerap melebih-lebihkan segala hal yang ia lihat memicu pemikirannya jauh dari kata realistis.

Kehidupannya seolah berpengaruh dengan media sosial.

Padahal, sosialisasi di dunia nyatanya tak sekejam media sosial.

Menurut studi penelitian, kurangnya intensitas dalam bersosialisasi di dunia nyata menjadi pemicu mengapa media sosial menjadi sangat penting dan bahkan lebih menjadi prioritas utama manusia.

Itu artinya, saya yang pengguna media sosial juga merupakan pelaku kegiatan sosial yang tidak aktif dalam sosialisasi secara verbal ya?

Seperti kasus yang menimpa salah seorang perempuan yang menjalin Long Distance Relationship (LDR) atau hubungan jarak jauh dengan suaminya.

Perempuan tersebut hanya memiliki waktu bertemu sekiranya sekali dalam satu musim dengan suaminya.