Awas! Stalking Pasangan di Media Sosial Dapat Berakibat Depresi dan Argumen Berujung Pembunuhan

By Cynthia Paramitha Trisnanda, Senin, 10 September 2018 | 07:40 WIB
ilustrasi pembunuhan (kolase nbc/nakita)

Nakita.id - Saya seorang perempuan.

Sudah menjadi hal yang dianggap wajar bila lingkungan sekitar saya kerap menjadikan media sosial sebagai ajang mencari informasi dan berita.

Bahkan bagi kaum perempuan, mencari berita dan informasi dari media sosial jauh lebih cepat aksesnya dibandingkan harus membolak-balik lembar demi lembar koran, atau harus membuka berbagai portal media.

Rasanya, bagi perempuan lebih ringkas dan praktis saja saat melihat berita atau informasi dari media sosial.

Terlebih, kaum saya juga yang penting mendapat berita, bukan membacanya dengan mendalam.

Ditambah lagi, kami memiliki kesibukan menumpuk.

Cucian piring di dapur masih tak beraturan, pakaian-pakaian baru saja selesai diangkat dari jemuran belakang rumah, bahkan debu masih betah bertahan di lantai rumah yang mungkin sehari ini sudah disapu lebih dari tiga kali.

Bila saya mendapat berita atau informasi, akun gosip akan menjadi acuan saya.

Terkait benar atau tidaknya, saya tidak mau tahu.

Yang penting saya up to date dan bisa nyambung ngobrol dengan teman arisan dan anggota grup lainnya.

Tetapi, terlalu sering menggunakan media sosial, hasrat saya untuk mencari tahu banyak hal semakin tinggi.

Bahkan terkadang, saya mencari informasi-informasi lain dengan mengintai berbagai akun media sosial atau istilah anak muda sekarang itu stalking.

Baca Juga : Kejam! Tega Bunuh Pasangannya yang Sedang Hamil 3 Bulan, Alasannya Tidak Logis

Saya kerap membuka fitur tanda dari para selebritis yang sedang marak diperbincangkan.

Kemudian saya mencari tahu banyak hal dari selebritis yang bersangkutan.

Bahkan banyak yang saya lihat ternyata belum diberitakan dan belum tercium aroma beritanya.

Saya merasa seperti detektif yang sebma tahu bukan?

Atau, saya juga kerap menjumpai relasi terdekat saya mencari akun media sosial orang lain yang ia idam-idamkan atau sedang ia cari untuk dikulik kabarnya.

Saya belajar banyak darinya.

Sampai suatu hari, saya temukan salah satu akun yang kerap mengunjungi akun media sosial saya, dan saya cari tahu dengan cara stalking akun media sosialnya sampai unggahan terakhir.

Mungkin sampai unggahannya lima tahun silam.

Dan kebiasaan ini seolah sudah melekat di diri saya.

Seperti, saya selalu ingin tahu banyak hal.

Bahkan mencari-cari bahan pengetahuan yang sebenarnya sama sekali tak berpengaruh besar bagi kehidupan saya.

Dan bahkan mungkin merugikan.

Ya, saya sadar hal itu.

Tetapi mengapa perilaku tersebut seolah menjadi kebiasaan ya?

Dan seperti berpengaruh besar bagi hidup saya.

Bukan! Bukan ke arah positif, saya jadi lebih kerap menyimpan dendam dan rasa amarah yang tinggi.

Berbahayakah?

Dari pertanyaan dan juga keraguan saya tentang perilaku yang kini menjadi kebiasaan tersebut, rupanya saya tak seorang diri.

Bahkan menurut The Bureau of Justice Statistics melaporkan bila tiap bulannya, tingkat stalking yang dilakukan oleh perempuan makin meningkat bahkan hingga 10 persen. Jumlah yang kecil, namun bisa menjadi momok bila terus bertambah.

Fakta lainnya mengatakan bahwa kebiasaan stalking atau mengintai biasanya dilakukan seseorang untuk mencari tahu dan mengintai sisi lain kehidupan pasangannya yang ia tak tahu.

Ya, seperti yang kita ketahui saat ini.

Maraknya aksi perselingkuhan akan membuat banyak orang semakin was-was.

Banyak orang yang menghindari kecurangan dengan cara memata-matai pasangannya melalui akun media sosial.

Baca Juga : Mengaku Sudah Waktunya Berumah Tangga, Syahrini Beberkan Kriteria Calon Suaminya

Tetapi ternyata hal itu tak membuat diri seseorang jauh lebih baik.

Di antara peningkatan 10 persen per bulannya, pelaku pengintaian tersebut justru menjadi korban depresi besar bahkan gangguan rutinitas mereka yang kian meninggi.

Depresi tersebut bukan kesalahan pasangan mereka yang tak terbuka.

Namun rasa was-was yang kemudian dibarengi dengan kebiasaan stalking.

Kebiasaan tersebut seolah tak bisa lagi dipisahkan, bila sudah merasa candu.

Bahkan, ada berbagai bahaya yang mengikuti pelaku stalking, menuju risiko tindakan kekerasan hingga kematian.

Ngeri memang, tetapi kenyataan benar-benar mengatakan hal demikian.

Beberapa tahun belakangan ini contohnya, banyak masalah sepele yang diterima dan ditanggapi serius serta muncul berbagai pihak yang merasa disudutkan.

Salah siapa?

Tak ada yang bisa menyalahkan maupun membela, gejolak ini sudah diprediksi sejak awal.

Karena adanya pengaruh besar media sosial.

Bukan berarti media sosial dianggap sebagai tempat berbahaya untuk bersosialisasi.

Media sosial memiliki peran penting untuk menjaga eksistensi juga menjaga hubungan baik, bila penggunanya mematuhi etika tersebut.

Namun kini, banyak pengguna media sosial yang menyalahgunakan pemakaian media sosial, sehingga mempengaruhi kebiasaannya sehari-hari dan mengarah ke aktivitas serta perilaku negatif lain.

Sangat tidak menutup kemungkinan!

Berbagai pandangan dan upaya menghindari pemakaian media sosial harusnya telah dilakukan oleh para pelaku yang kini merasa hidupnya berubah.

Berubah menjadi makin khawatir, berubah jadi memiliki rasa dendam dan lain sebagainya.

Manusia kini hidup di era media sosial, di mana mata rantai bisa terlihat hanya dengan sekali slide (geser layar) saja.

Makin menambah rumit berbagai permasalahan yang seolah dipandang enteng penggunanya.

Baca Juga : Dari Sule Hingga Lidya Kandou, Berbagai Fenomena Pernikahan Harmonis Tiba-tiba Cerai, Kenali Cirinya

Kecanduan media sosial akan membawa penggunannya terjun ke wilayah atau daerah yang berada di ‘zona merah’.

Bila mendapat kepuasan, tentu media sosial bisa dipakai sebagai aksi jumawa.

Media sosial tak memiliki power untuk mencegah pemikiran dan bahkan menghalangi penggunanya untuk melakukan aksi jumawa.

Ia tak sepandai didikan orangtua.

Dan bila pengguna akun medis sosial tak menemui kepuasan, bukan tak mungkin berbagai cara akan ia lakukan seperti teror dan juga ancaman.

Seperti yang terjadi pada bocah 13 tahun asal Blacksburg, di Amerika Serikat. 

Bocah sekecil itu telah mengerti dan memahami cara pemakaian serta cara meningkatkan eksistensi media sosial.

Ia ditemukan mati terbunuh karena kerap bermain media sosial.

Dalam kasus yang menimpa bocah ini, dikatakan bahwa kesalahan orangtualah yang menjadi pemicunya.

Orangtua membawa anak untuk familiar dengan dunia maya, anak tersebut berkomunikasi dan bertemu dengan salah satu orang yang dengan tega membunuhnya.

Pemakaian media sosial bagi bocah 13 tahun ini sudah hamper setara dengan pemakaian media sosial orangtuanya.

Ia mencari tahu banyak hal tentang dunia luar, ia berteman dengan banyak orang, mencari lagi pribadi yang menarik dan akhirnya bertemu dengan seseorang yang diduga kekasihnya kemudian terjadi pembunuhan.

Mata rantainya sangat jelas.

Gadis ini bertemu ajalnya atas dasar rasa keingintahuannya yang tinggi di media sosial.

Tentu kecanduan menjadi salah satu alasan mengapa kematian ini terjadi, meski banyak pranalar yang mengatakan bahwa media sosial bukan peran utama kematian bocah tersebut.

Di kasus yang sama, laki-laki berusia 49 tahun tertangkap dan terbukti melakukan pembunuhan kepada istrinya.

Belakangan diketahui bahwa laki-laki tersebut terus mencari tahu lingkup sosial istrinya yang bergaya hidup mewah.

Ia juga mencari tahu bagaimana istrinya menghabiskan uangnya.

Tak terima hasil kerja kerasnya dihambur-hamburkan, laki-laki ini merencanakan pembunuhan dan akhirnya melancarkan serangannya dan membunuh sang istri.

Mata rantai permasalahannya adalah rasa ingin tahu yang tinggi, dibarengi dengan kebiasaan mencari tahu dan menyimpulkan segala sesuatunya sendiri.

Baca Juga : Laudya Cynthia Bella Diisukan Hamil, Orang Terdekatnya Beri Konfirmasi

Bukan kah lebih indah bila permasalahan tersebut dibicarakan berdua dan diambil jalan tengah tanpa harus mencari tahu kebenaran yang belum tentu terbukti faktanya? Karena belum tentu yang dilihat sang suami merupakan kebiasaan buruk sang istri.

Kasus serupa akan terus dikembangkan dan diteliti, menyesuaikan dengan perkembangan era media sosial yang makin lama makin melejit.

Kita tahu bahwa, bahkan saya sadar.

Peran media sosial memiliki peran yang sangat penting.

Tetapi adanya kebiasaan dan penyikapan di luar nalar itu lah yang membuat media sosial seakan menjadi momok yang diintimidasi karena kemunculannya.

Pelaku stalking atau yang kerap disebut stalker memiliki pemikiran yang tak cukup terbuka.

Ia memiliki pola pikir yang terbatasi dengan banyak hal.

Salah satunya adalah kebiasaan menyimpulkan suatu kejadian atau peristiwa yang ia lihat berdasarkan rasa keingintahuan yang tinggi.

Saat seseorang memiliki keingintahuan yang tinggi, ia pastinya akan makin menggebu-gebu dalam bermain peran, kemudian stalking, hasilnya sesuai harapan, dan reaksinya menjadi-jadi.

Kenyataannya, cara kerja pikiran manusia membutuhkan pertemuan pikir.

Terlepas dari intensitas melakukan media sosial, komunikasi secara langsung memiliki poin penting memperbaiki apa yang seharusnya tak dirusak hanya dengan pikiran kosong pengaruh media sosial.

Lebih lagi, perilaku stalker yang sulit ditebak, juga kerap melebih-lebihkan segala hal yang ia lihat memicu pemikirannya jauh dari kata realistis.

Kehidupannya seolah berpengaruh dengan media sosial.

Padahal, sosialisasi di dunia nyatanya tak sekejam media sosial.

Menurut studi penelitian, kurangnya intensitas dalam bersosialisasi di dunia nyata menjadi pemicu mengapa media sosial menjadi sangat penting dan bahkan lebih menjadi prioritas utama manusia.

Itu artinya, saya yang pengguna media sosial juga merupakan pelaku kegiatan sosial yang tidak aktif dalam sosialisasi secara verbal ya?

Seperti kasus yang menimpa salah seorang perempuan yang menjalin Long Distance Relationship (LDR) atau hubungan jarak jauh dengan suaminya.

Perempuan tersebut hanya memiliki waktu bertemu sekiranya sekali dalam satu musim dengan suaminya.

Baca Juga : Sekian Lama Bungkam, Sule Angkat Bicara Sampai Bersumpah Terkait Isu Selingkuh dengan Pramugari

Perempuan tersebut memiliki tabiat baik.

Ia selalu di rumah, mengerjakan pekerjaan sebagaimana mestinya istri dan ibu, dan hanya bersosialisasi ke luar rumah ala kadarnya.

Ia lebih banyak bermain media sosial dan terpengaruh trending yang tengah hangat jadi bahan pembicaraan dan juga menjadi dirinya terpacu mengunggah bahkan membagikan hal-hal yang ia sukai.

Suaminya merasa dicurangi ketika istrinya terlihat lebih sering bermain media sosial.

Bahkan sang suami berpikir bahwa anak-anaknya terlantar karena ia melihat dari media sosial, betapa anaknya jarang di rumah dan lebih kerap menghabiskan waktu di luar rumah.

Simpulan salah pun muncul, sang suami geram kemudian menuduh istrinya melakukan kecurangan bahkan perselingkuhan yang menyebabkan anaknya kerap pergi dari rumah.

Cekcok dimulai, terlebih sang istri juga memiliki mental emosional, akibat pengaruh jahatnya media sosial dan dunia perdebatan di media sosial.

Tak kunjung usai permasalahan tanpa titik temu.

Permasalahan selesai dengan cara mengenaskan, sang suami membunuh istrinya yang terus berargumen, sementara dirinya juga membunuh akibat dendam yang belum jelas betul muaranya.

Sehingga dalam beberapa fenomena dapat dimengerti bahwa stalker bisa jadi korban atau juga bisa menjadi tersangka dalam tindak kekerasan karena pola pikirnya yang terlanjur ‘liar’.

Melihat berbagai kasus, seorang ahli stalker dan psikolog kepolisian forensik Kris Mohandie mengambil berbagai pranalar berikut!

Mohandie mengatakan bahwa reaksi berbagaya seperti ancaman, kekerasan bahkan pembunuhan bisa menjadi ujung dari kebiasaan stalking.

Ini akan sangat mengancam nyawanya sendiri, juga nyawa orang sekitarnya.

Para stalker memiliki kebebasan tanpa batas-batas perilaku normal sehingga dirinya bisa terancam karena terlalu gegabah, atau justru mengancam korban yang memang telah ia benci.

Dari kasus yang Mohandie pelajari, ada berbagai upaya untuk menghindari kebiasaan bermain media sosial dan mengarah ke pembunuhan serta kekerasan.

Baca Juga : Anggita Sari Angkat Bicara Perihal Isu Berhubungan Intim di Lapas dengan Terpidana Mati

1. Tetap waspada dan proaktif dalam berbagai pengaruh yang asalnya tidak dari diri kita dan keyakinan kita sendiri

2. Hindari banyak orang yang berpotensi membawa pengaruh negatif

3. Tak mudah terpengaruh dan juga menghindari berbagai komunikasi yang bersifat memprovokasi atau menyesatkan

4. Mencari informasi dan mencari jawaban atas keingintahuan secara wajar tanpa mencari simpulan di luar bahan keperluan yang ingin dicari

5. Menghindari berbagai dokumen dan laporan informasi yang membuat ancaman bagi diri sendiri.

Poin tersebut juga bisa dipakai bila seseorang merasa dirinya sedang distalking atau bahkan diteror.

Untuk mengenali berbagai macam perilaku stalker, Mohandie telah mengumpulkan berbagai indikasi dan ciri-ciri orang tersebut merupakan stalker.

1. Tokoh penting yang tak ada sangkut pautnya dalam hidup kita, tetapi membuat rumit hidup kita, jauh lebih rumit dibandingkan permasalahan yang kerap kita hadapi.

2. Terus mencari kesalahan kita selalu memahami berbagai celah tipis dalam kehidupan

Baca Juga : Alat Kemaluan Terputus Saat Sunat, Bocah Ini Dapat Kompensasi Besar

Menjadi stalker bukan membuat derajat seseorang bisa terangkat di media sosial. Mau tak mau, ia selalu dilingkupi rasa takut setiap harinya.

Ia akan terus mencari tahu kebenaran-kebenaran yang belum tentu terbukti faktanya.

Sehingga berbagai ketakutan dan rasa khawatir yang tak seharusnya timbul menjadi ada dan semakin bergejolak.

Seorang psikiater forensik dari Temple University School of Medicine di Philadelphia memberi perumpamaan bahwa stalker layaknya pecandu nikotin dan narkotika.

Ia sudah sangat sulit lepas dengan kebiasaannya.

Tak ada yang bisa menghindarkannya, sekali pun mengancam hidupnya. Dan bahaya justru akan mengancamnya.

Sehingga tak heran bila banyak kasus yang berakhir pada kematian atau pembunuhan.