Nakita.id- Sejak era sosial media merebak, sadar atau tidak banyak di antara kita telah menjadi seorang social climber, kerap bergaya hidup mewah, pamer hal-hal yang membuat banyak orang bilang wow, tapi status sosial aslinya tidak seperti yang dia gambarkan di sosial media.
Menurut situs urbandictionary.com, social climber banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pria. Sedangkan menurut kamus dari Cambridge, social climber adalah mereka yang mencoba memperbaiki posisi sosial dengan bersikap seperti kalangan jet set. Padahal aslinya tidak seperti itu.
Baca juga: Jangan Posting 8 Foto Ini Di Media Sosial
Dari sini kita tentunya sudah bisa mengetahui, walau tampaknya menyenangkan menjadi social climber, tapi ada risiko yang harus ditanggung dengan menjadi social climber.
MENGHALALKAN SEGALA CARA
Seorang psikolog ternama dari Universitas Texas, Amerika Serikat, Art Markman PhD, seperti yang dilansir situs tempo.co.id, mengatakan untuk melihat fenomena social climber harus melihat teori hedonis-treadmill. Menurutnya teori tersebut menyebutkan setiap kali seseorang mencapai tujuan, maka dirinya akan menetapkan pandangan pada tujuan berikutnya.
Tujuan seorang social climber adalah mengejar gaya status sosial yang tinggi alias jet set. Nah, karena social climber menggapai status sosial jet set hanya dari gayanya saja, sejatinya dia tidak akan mendapatkan kebahagiaan.
Kenapa? Karena tidak jarang, dalam upaya menjadi kalangan jet set dadakan secara instan, mereka kerap menghalalkan segala cara, tak terkecuali menyakiti dirinya sendiri.
Misal, demi mencapai tujuannya, meskipun penghasilannya tidak sampai 5 juta dalam sebulan, mereka nekat membeli handphone seharga 5 juta lebih bahkan hingga belasan juta.
Baca juga: 4 Kesalahan Orangtua Dalam Menggunakan Media Sosial
Untuk mendapatkan uang membeli handphone tersebut social climber akan rela melakukan banyak hal. Misal yang paling normatif adalah membeli dengan sistem kredit.
Bisa dibayangkan, berapa lama dia harus mencicil sebuah handphone, dan berapa besar uang yang harus dia keluarkan untuk membayar cicilan handphone. Intinya social climber itu orang-orang yang memaksakan diri.
KARENA INGIN DITERIMA DAN DIAKUI
Menurut psikolog klinis dewasa dari Pusat Informasi dan Konsultasi Tiga Generasi, Anna Margaretha Dauhan, seseorang menjadi social climber biasanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk diterima dan diakui oleh masyarakat.
Harapannya bisa bermacam-macam, bisa hanya supaya dibilang keren, gaul, pintar, juga bisa supaya merasa lebih powerful.
Untuk beberapa orang, menurut Anna keberhasilan diterima dilingkungan sosial tertentu akan membawa kebanggaan dan perasaan bahwa ia diterima.
Dengan begitu dia akan merasa puas juga senang. Tapi, apakah ini bisa memberi kepuasan dalam jangka panjang? Apakah ini akan membuatnya bahagia dalam arti yang hakiki?
Jawabannya tidak. Karena jika seorang social climber mau jujur, hidupnya akan selalu tersiksa, dalam setiap gayanya dia akan terbebani.
Di sini bisa kita lihat, karena setiap hari, bahkan setiap waktu seorang social climber hidupnya selalu memaksakan diri, dirasakan atau tidak sejujurnya mereka merasa tidak nyaman dalam hidupnya, tidak percaya diri, dan selalu khawatir tidak diterima di lingkungannya apabila tidak tampil seperti kalangan jet set.
Karena hal inilah banyak orang menyebut social climber adalah sebuah “penyakit kejiwaan”. Alasannya, karena social climber akan merasa gelisah dan takut jika terlihat miskin, merasa minder jika tidak bergaya atau berpenampilan jet set, pastinya social climber tidak bisa menerima kondisi dirinya pada keadaan yang sebenarnya.
Tapi menurut Anna, social climber tidak termasuk dalam gangguan patologis dari sisi psikologi klinis. Walau tidak menutup kemungkinan, social climber seseorang yang menderita gangguan tertentu yang disebabkan stres atau break down akibat penolakan dari lingkungan sosial yang dituju.
“Gangguan psikologis yang diderita lebih karena penolakannya, bukan karena menjadi social climber-nya,” jelas Anna.
Walaupun demikian sebaiknya kita tidak menjadi social climber, dan yang sudah menjadi social climber untuk segera sadar. Karena kebahagian sejati itu bisa didapatkan dengan menghargai dirinya sendiri apa adanya. (*)
National Geographic Indonesia: Dua Dekade Kisah Pelestarian Alam dan Budaya Nusantara
Penulis | : | Soesanti Harini Hartono |
Editor | : | Soesanti Harini Hartono |
KOMENTAR