”Kasus pemerkosaan yang berulang tersebut merupakan buah ketidakpedulian terhadap warganya. Saya khawatir penyelesaian yang diambil pemerintah nantinya justru adalah kebijakan yang salah, seperti pemisahan gerbong antara perempuan dan laki-laki,” kata Nursyahbani.
Pada dasarnya, perempuan dan laki-laki adalah sama, untuk itu perlu mendapatkan perlindungan dan pelayanan yang sama. Yang menjadi masalah adalah ketika penegakan hukum tidak bisa dijalankan oleh pihak berwenang.
”Pelecehan seksual adalah kejahatan, tercantum dalam Pasal 281 dan 294 KUHP. Jadi, harus ada penegakan hukum tegas,” katanya.
Bahkan, menurut data PBB, perempuan di bawah usia 16 tahun merupakan perempuan yang usianya paling rentan alami kekerasan seksual.
"Jumlahnya bahkan mencapai 50 persen lebih di seluruh dunia,"kata pernyataan kampanye UNITE- Akhiri Kekerasan terhadap Perempuan di Markas Besar PBB di New York pada Jumat (27/9/2013).
Sementara, hasil jajak pendapat Small Arms setahun silam menunjukkan setengah dari 25 negara dengan tingkat tertinggi terbunuhnya perempuan ada di Amerika Latin dan Karibia.
Secara rinci data itu menyebutkan pada 2015 sekitar 650 perempuan terbunuh di El Salvador. Di posisi kedua tahun sama ada Guatemala dengan 375 kasus pembunuhan.
Sementara, pembunuhan terhadap perempuan berusia 15-49 tahun terjadi di Honduras. Ini pun terbilang angka tertinggi sebagaimana warta AP.
Sampai kini, dalam catatan UNITE, PBB sudah bekerja bersama beberapa kalangan membuat banyak kebijakan untuk menjamin persamaan hak bagi perempuan.
Baca Juga : Amankan Demo Mahasiswa yang Ricuh, 7 Polwan Jadi Korban Pelecehan Seksual, Begini Kronologinya
Faktor Pemicu Pelecehan Seksual
Kekerasan seksual atau pelecehan seksual biasanya terjadi di ruang publik dan menyerang perempuan.
Temuan safety audit UN Women, ada beberapa hal yang menjadi faktor pemicu terjadinya kekerasan maupun pelecehan seksual di Jakarta.
Pertama adalah soal infrastruktur dan transportasi publik yang kurang memadai. Misalnya, tidak adanya penerangan yang cukup di jalan atau gang, trotoar yang tidak memadai, tidak adanya CCTV di tempat strategis, hingga transportasi publik yang kurang aman.
"Bayangan dan ketakutan akan terjadinya kekerasan dan pelecehan seksual, sering kali membatasi akses dan ruang gerak perempuan dan anak di ruang publik kota," ucap Sabine Machl, UN Women Representative Indonesia di dalam acara peringatan Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan di Jakarta, Sabtu (25/11/2017).
Faktor kedua adalah perilaku dan norma sosial. Hal ini mencakup kekerasan diterima secara budaya, perilaku kekerasan dianggap suatu yang lazim dan dapat diterima secara sosial, kurangnya respons dari penonton yang menyaksikan tindakan kekerasan.
Ketiga dikarenakan pengalaman kekerasan yaitu pernah menyaksikan kekerasan atau mengalami sebelumnya saat kanak-kanak.
Sementara faktor keempat, korban pelecehan seksual kerap disalahkan, misalnya dari cara berpakaiannya.
Pandangan yang salah ini malah menyudutkan korban pelecehan seksual. Sabine mengatakan, fasilitas publik harus dibenahi agar para perempuan aman dan nyaman beraktivitas.
"Perbaikan infrastruktur dan fasilitas publik sangat penting untuk memastikan keamanan dan keselamatan perempuan dalam konteks perkotaan sehingga memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam kegiatan ekonomi, membuka akes pendidikan, dan kesehatan," kata Sabine.
Dalam acara yang sama, Direktur Operasional PT Transjakarta Daud Joseph menambahkan, perempuan yang mengalami pelecehan seksual di transportasi massal, diharapkan berani bertindak dan melapor.
"Banyak kejadian (pelecehan seksual), namun dalam proses hukumnya kerap tidak bisa dilanjutkan akibat si korban tidak mau memberikan laporan ke pihak berwenang," ucap Joseph.
Bentuk pelecehan di ruang publik sendiri terdiri dari dua macam, yakni secara verbal seperti memberikan komentar, siulan, seruan yang bernada melecehkan.
Kedua non verbal atau tindakan yang lebih berani layaknya menyentuh, meraba, penyerangan seksual, menguntit, pemerkosaan, sampai menunjukkan alat kelamin.
Source | : | Kompas.com,BBC,Women's Weekly |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR