Nakita.id - Belakangan ini kasus bullying kembali marak diperbincangkan, pemicunya ialah kejadian bullying yang kabarnya dialami oleh siswi SMP di Pontianak, Kalimantan Barat.
Melansir Tribun Timur, dugaan kasus pengeroyokan ini melibatkan siswi SMP berusia 14 tahun dengan sekelompok siswa SMA yang dikabarkan capai 12 orang.
Walau kebenaran kasus ini masih simpang siur dan penyelidikan masih terus dijalankan, publik kembali menaruh perhatian pada fenomena bullying.
Baca Juga : Berikan yang Terbaik, Bahan Alami Harus Jadi Pilihan Utama Agar Bayi Terlindungi
Bullying bukan kasus baru Moms, penggambarannya telah jadi polemik yang memang terjadi di lingkungan pergaulan anak dan marak terjadi di sekolah.
Moms mungkin sering mendengar pesan stop bullying yang terpampang di sekolah Si Kecil, atau penerapan etika cegah melakukan bully yang diusahakan oleh para pengajar.
Ternyata memberikan label 'bully' pada pesan-pesan anti kekerasan atau anti bullying tidak serta merta menyelesaikan masalah ini.
Melansir Science Daily, label bully cenderung diartikan berbeda oleh para pelajar.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Cara Atasi Rasa Khawatir Berlebihan Pada Anak
Umumnya para pelajar dan peneliti memasukkan tindak kekerasan fisik maupun emosional sebagai definisi bullying.
Namun pemahaman para pelajar dan ahli tetap berbeda bagaimana mereka mengerti label bullying tersebut.
Peneliti sosiologi dari Albright College di Pennsylvania, Amerika Serikat, Brent Harger, menemukan jika banyak pelajar memandang bullying sebagai label, siapa yang 'membully' dan siapa yang 'bukan pembully'.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Jangan Sebut Si Kecil 'Pemalu', Ini Alasannya
Kesalahan pemahaman ini menimbulkan anggapan pelaku bullying harus selalu memenuhi semua definisi bullying yang mereka pahami.
Dalam artian, timbul kondisi di mana pelajar cenderung memberi label bully pada orang lain, dan coba mencari pengecualian jika mereka bukan pelaku bully.
Sebab, label bully terlanjur melekat pada mereka yang kurang cakap secara akademis, kelihatan kasar secara fisik, serta karakter-karakter stereotip bully lainnya.
Akibatnya, seorang pelajar bisa saja telah melakukan tindak bully menurut pengartian peneliti, tetapi bisa mengelak, merasa dirinya bukan seorang pembully.
Misalnya karena faktor lain, mendapatkan nilai bagus atau berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Belajar dari Kasus Audrey, Terkuak Dampak Bullying Bagi Kejiwaan
Akibat mereka tidak mengidentifikasi diri mereka sebagai pelaku bully, para pelajar ini dapat menolak pesan antibullying di sekolah karena merasa pesan itu bukan untuk mereka.
Pesan antibullying di lingkungan sekolah mungkin masih berjalan, tetapi alih-alih menghentikan tindak kekerasan dalam pergaulan, justru pesan ini bisa jadi pembelaan pelaku bully yang merasa tak bersalah.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Sekali Melekat, Label Akan Sulit Dihilangkan, Ini yang Akan Terjadi Pada Si Kecil Moms
Label bully cenderung lebih melekat pada seseorang, bukan tindakan-tindakan tertentu.
"Bahkan beberapa orang dewasa di sekolah juga memiliki pemahaman yang salah, contohnya kepala sekolah yang menyebutkan jika ada 'satu orang pembully' di sekolahnya," jelas Harger.
Ini memperkuat anggapan label bully lebih cocok disebut untuk mendefinisikan seseorang, bukan tindakannya.
Akhirnya bullying tetap menjadi masalah pelik yang tak kunjung selesai di lingkungan sekolah.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Bisa Merusak Harga Diri Anak, 6 Cara Ini Efektif Hindari Labelling
Source | : | Science Daily,Tribun Timur |
Penulis | : | Anisa Annan |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR