Umumnya para pelajar dan peneliti memasukkan tindak kekerasan fisik maupun emosional sebagai definisi bullying.
Namun pemahaman para pelajar dan ahli tetap berbeda bagaimana mereka mengerti label bullying tersebut.
Peneliti sosiologi dari Albright College di Pennsylvania, Amerika Serikat, Brent Harger, menemukan jika banyak pelajar memandang bullying sebagai label, siapa yang 'membully' dan siapa yang 'bukan pembully'.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Jangan Sebut Si Kecil 'Pemalu', Ini Alasannya
Kesalahan pemahaman ini menimbulkan anggapan pelaku bullying harus selalu memenuhi semua definisi bullying yang mereka pahami.
Dalam artian, timbul kondisi di mana pelajar cenderung memberi label bully pada orang lain, dan coba mencari pengecualian jika mereka bukan pelaku bully.
Sebab, label bully terlanjur melekat pada mereka yang kurang cakap secara akademis, kelihatan kasar secara fisik, serta karakter-karakter stereotip bully lainnya.
Akibatnya, seorang pelajar bisa saja telah melakukan tindak bully menurut pengartian peneliti, tetapi bisa mengelak, merasa dirinya bukan seorang pembully.
Misalnya karena faktor lain, mendapatkan nilai bagus atau berpartisipasi dalam kegiatan ekstrakurikuler.
Baca Juga : #LovingNotLabelling: Belajar dari Kasus Audrey, Terkuak Dampak Bullying Bagi Kejiwaan
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Source | : | Science Daily,Tribun Timur |
Penulis | : | Anisa Annan |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR