Di sini bisa kita lihat, karena setiap hari, bahkan setiap waktu seorang social climber hidupnya selalu memaksakan diri, dirasakan atau tidak sejujurnya mereka merasa tidak nyaman dalam hidupnya, tidak percaya diri, dan selalu khawatir tidak diterima di lingkungannya apabila tidak tampil seperti kalangan jet set.
Karena hal inilah banyak orang menyebut social climber adalah sebuah “penyakit kejiwaan”.
Alasannya, karena social climber akan merasa gelisah dan takut jika terlihat miskin, merasa minder jika tidak bergaya atau berpenampilan jet set, pastinya social climber tidak bisa menerima kondisi dirinya pada keadaan yang sebenarnya.
Tapi menurut Anna, social climber tidak termasuk dalam gangguan patologis dari sisi psikologi klinis.
Walau tidak menutup kemungkinan, social climber seseorang yang menderita gangguan tertentu yang disebabkan stres atau break down akibat penolakan dari lingkungan sosial yang dituju. “Gangguan psikologis yang diderita lebih karena penolakannya, bukan karena menjadi social climber-nya,” jelas Anna.
Baca juga: Hilangkan Bulu Kaki Tanpa Rasa Sakit Dengan Bahan Alami. Coba yuk!
Walaupun demikian sebaiknya kita tidak menjadi social climber, dan yang sudah menjadi social climber untuk segera sadar. Karena kebahagian sejati itu bisa didapatkan dengan menghargai dirinya sendiri apa adanya.
(Artikel ini sudah pernah ditayangkan di Tempo.co dengan judul: Memahami Karakter Social Climber dari Tokoh Mia)
Source | : | Tempo,psychologytoday,urbandictionary,dictionary |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR