Nakita.id- Sejak era sosial media merebak, sadar atau tidak banyak diantara kita telah menjadi seorang social climber, kerap bergaya hidup mewah, pamer hal-hal yang membuat banyak orang bilang wow, tapi status sosial aslinya tidak seperti yang dia gambarkan di sosial media.
Menurut www.urbandictionary.com, social climber banyak terjadi pada perempuan dibandingkan pria. Sedangkan menurut http://dictionary.cambridge.org, social climber adalah mereka yang mencoba memperbaiki posisi sosial dengan bersikap seperti kalangan jet set. Padahal aslinya tidak seperti itu.
Dari sini kita tentunya sudah bisa mengetahui, walau tampaknya menyenangkan menjadi social climber, tapi ada risiko yang harus ditanggung dengan menjadi social climber.
Risiko menjadi social climber
Seorang psikolog ternama dari Universitas Texas, Amerika Serikat, Art Markman PhD, seperti yang dilansir www.tempo.co, mengatakan, untuk melihat fenomena social climber harus melihat teori hedonis-treadmill.
Baca juga: Kontroversi Diet Keto, Dokter Gizi Klinis: Thin Inside Fat Outside!
Menurutnya teori tersebut menyebutkan setiap kali seseorang mencapai tujuan, maka dirinya akan menetapkan pandangan pada tujuan berikutnya.
Tujuan seorang social climber adalah mengejar gaya status sosial yang tinggi alias jet set.
Nah, karena social climber menggapai status sosial jet set hanya dari gayanya saja, sejatinya dia tidak akan mendapatkan kebahagiaan.
Kenapa? Karena tidak jarang, dalam upaya menjadi kalangan jet set dadakan secara instan, mereka kerap menghalalkan segala cara, tak terkecuali menyakiti dirinya sendiri.
Misal, demi mencapai tujuannya, meskipun penghasilannya tidak sampai 5 juta dalam sebulan, mereka nekat membeli handphone seharga 5 juta lebih bahkan hingga belasan juta.
Baca juga: Pil KB Berpotensi Meningkatkan Risiko Kanker Payudara. Ini Alasannya
Untuk mendapatkan uang membeli handphone tersebut social climber akan rela melakukan banyak hal.
Misal, yang paling normatif adalah membeli dengan sistim kridit.
Bisa dibayangkan, berapa lama dia harus mencicil sebuah handphone, dan berapa besar uang yang harus dia keluarkan untuk membayar cicilan handphone.
Intinya social climber itu orang-orang yang memaksakan diri.
Apa yang menyebabkan seseorang menjadi social climber?
Menurut psikolog klinis dewasa dari Pusat Informasi dan Konsultasi Tiga Generasi, Anna Margaretha Dauhan, seseorang menjadi social climber biasanya dilatarbelakangi oleh keinginan untuk diterima dan diakui oleh masyarakat.
Harapannya bisa bermacam-macam, bisa hanya supaya dibilang keren, gaul, pintar, juga bisa supaya merasa lebih powerful.
Untuk beberapa orang menurut Anna keberhasilan diterima dilingkungan sosial tertentu akan membawa kebanggaan dan perasaan bahwa ia diterima.
Dengan begitu dia akan merasa puas juga senang.
Tapi, apakah ini bisa memberi kepuasan dalam jangka panjang?
Apakah ini akan membuatnya bahagia dalam arti yang hakiki?
Jawabannya tidak.
Karena jika seorang social climber mau jujur, hidupnya akan selalu tersiksa, dalam setiap gayanya dia akan terbebani.
Baca juga: The Sacred Riana Ternyata Sangat Dekat Dengan Keluarga. Lihat yuk!
Di sini bisa kita lihat, karena setiap hari, bahkan setiap waktu seorang social climber hidupnya selalu memaksakan diri, dirasakan atau tidak sejujurnya mereka merasa tidak nyaman dalam hidupnya, tidak percaya diri, dan selalu khawatir tidak diterima di lingkungannya apabila tidak tampil seperti kalangan jet set.
Karena hal inilah banyak orang menyebut social climber adalah sebuah “penyakit kejiwaan”.
Alasannya, karena social climber akan merasa gelisah dan takut jika terlihat miskin, merasa minder jika tidak bergaya atau berpenampilan jet set, pastinya social climber tidak bisa menerima kondisi dirinya pada keadaan yang sebenarnya.
Tapi menurut Anna, social climber tidak termasuk dalam gangguan patologis dari sisi psikologi klinis.
Walau tidak menutup kemungkinan, social climber seseorang yang menderita gangguan tertentu yang disebabkan stres atau break down akibat penolakan dari lingkungan sosial yang dituju. “Gangguan psikologis yang diderita lebih karena penolakannya, bukan karena menjadi social climber-nya,” jelas Anna.
Baca juga: Hilangkan Bulu Kaki Tanpa Rasa Sakit Dengan Bahan Alami. Coba yuk!
Walaupun demikian sebaiknya kita tidak menjadi social climber, dan yang sudah menjadi social climber untuk segera sadar. Karena kebahagian sejati itu bisa didapatkan dengan menghargai dirinya sendiri apa adanya.
(Artikel ini sudah pernah ditayangkan di Tempo.co dengan judul: Memahami Karakter Social Climber dari Tokoh Mia)
Source | : | Tempo,psychologytoday,urbandictionary,dictionary |
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR