Nakita.id – Stunting adalah masalah besar bangsa dan negara Indonesia sekarang ini.
BACA JUGA: [Reportase] Gawat! Indonesia Darurat Stunting, Terbesar ke 5 di Dunia
Kenapa? Karena, jika ini tidak segera dientaskan siapa yang akan meneruskan menjaga keutuhan dan kedaulatan banga juga negara Indonesia ini.
Ingat, stunting bisa membuat anak-anak yang mengalaminya buruk pada tes perhatian dan memori belajar.
Cegah, Pantau, dan Terapi
Menurut dr. Damayanti Rusli S, SpAK, PhD, anggota UKK Nutrisi dan Penyakit Metabolik Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), saat diwawancara Nakita.id (23/4) di Jakarta Pusat, mengatasi stunting sekarang ini harus terstruktur.
Seperti apa pencegahan stunting? “Untuk sekarang ini alangkah baiknya Presiden turun tangan. Katakan kepada masyarakat jangan anggap sepele stunting. Sampaikan bahaya stunting, termasuk bagaimana mencegahnya.” Papar dokter anak sub spesialisasi gizi metabolik dari Fakultas Kedokteran Universtias Indonesia.
BACA JUGA: [Reportase] ASI Tak Jamin Bayi Terhindar Stunting, Ini Faktanya
Utarakan kepada masyarakat jika stunting ini masalah besar, tak terkecuali bagi bangsa dan negara Indonesia. “20-30 tahun kedepan, jika masalah stunting saat ini tidak diatasi, bangsa dan negara ini bisa ‘hilang’. Karena masyarakatnya menjadi tak berkuasa, tak kompeten, menjadi buruh dan orang terbuang di tanah kelahirannya sendiri.” Tegas Damayanti.
Kenapa bisa sejauh itu? Masih menurut dokter yang juga seorang peneliti masalah gizi pada anak, “Stunting bisa membuat otak anak-anak Indonesia bodoh. Jika bodoh, apa yang bisa dia lakukan? Mereka akan menjadi pengemis, gembel, pelaku kriminal, bahasa lainnya adalah sampah masyarakat.”
Damayanti melanjutkan, menurut penelitian Weber (1981), bayi atau anak yang masuk dalam ketegori gizi kurang 65% IQ-nya tidak lebih dari 90.
Anak dengan kekurangan protein dan energi kronis (stunting) menampilkan performa yang buruk pada tes perhatian dan memori belajar, tetapi masih baik dalam koordinasi dan kecepatan gerak.
Oleh karenanyalah edukasi kepada masyarakat dalam pencegahan stunting, supaya tidak meningkat lagi angka kejadiannya, tak bisa dielakan lagi.
Berikan masyarakat usia subur dan produktif edukasi mengenai makanan bergizi, pentingnya memerhatikan gizi pada ibu hamil, menyusui, “Jangan asal makan, jangan yang penting kenyang. Ajarkan gizi seimbang, kecukupan gizi, sumber-sumber gizi, hingga memantau kecukupan gizi dirinya dan anaknya.”
Kepada anak pun sama halnya, berikan edukasi prihal gizi. Tentu dengan cara dan teknik yang berbeda dengan orang dewasa.
Sambil itu berjalan, jelas Damayanti, pantau kondisi bayi dan anak Indonesia. “Dimulai dari sejak lahir. Mulai dari si bayi menyusui. Jangan salah, banyak kasus yang saya temukan, ASI diberikan tapi bayi tersebut stunting.”
Sedihnya Damayanti mengakui, mengenai kondisi tersebut banyak orang yang tak percaya.
BACA JUGA: Cantik dan Memesona, Mantan Finalis Idol ini Kini Jadi Istri Bupati
“Boleh tidak percaya ASI diberikan tapi si bayi stunting. Tapi, faktanya seperti itu. Setelah diteliti, ternyata pemberian ASI-nya salah. Jadi si bayi tidak mendapatkan gizi dari ASI secara komplet.”
Bagaimana memantau hal tersebut? Mudah, setelah bayi lahir ke dunia, jangan lupa dikontrol pertumbuhannya, periksakan ke dokter, ke posyandu setiap bulan, lihat grafik panjang badan dan berat badannya.
“Untuk bisa melihat grafik panjang badan dan berat badan bayi, tentu harus mempunyai alat ukurnya, baik tabel growchart (ada di KMS), alat timbangan bayi (berat bayi ditimbang dengan posisi berbaring), alat pengukur panjang bayi (panjang bayi diukur mulai dari telapak kaki hingga atas kepala dengan cara bayi dibaringkan di alat ukur).”
BACA JUGA: Berlibur Ke Jogja, Olla Ramlan Tak Malu Unggah Foto di Tempat Makan ini!
Jika saat itu, jelas Damayanti, ditemukan adanya penurunan, walaupun hanya berat badan, dalam artian berat badan bayi di bawah garis ideal seperti tertera di grow chart, “Kader apalagi dokter harus sudah curiga. Ini penting, tidak main-main. Penurunan berat badan sudah menggambarkan IQ bayi tersebut turun 3 poin.” Tegas Damayanti.
Jika kader juga dokter umum menemukan hal ini, segera konsultasikan kepada dokter anak. Karena tugas mereka mencari tahu penyebabnya dan bagaimana penanganannya.
“Hanya dokter anak yang belajar mengenai hal tersebut dengan detail.” Papar Damayanti.
Penting Untuk Terapi
Setelah ditangani dokter anak, menurut Damayanti, dokter anak akan mencari tahu apa yang menyebabkan hal tersebut terjadi. Apakah pemberian ASI salah, misal si bayi ternyata hanya ngempeng saja, atau lainnya.
Lalu revisi pemberian ASI pada bayi. Jika masih tetap dan atau tambah turun, cari apakah ada penyakit pada si bayi atau tidak. Jangan-jangan bayinya alergi.
BACA JUGA: Marissa Nasution Lakukan Maternity Photoshoot, Warganet: Bak Bidadari!
Jika sudah ditangani berat badan bayi masih turun, harus cari solusi lain. Misal, cari ASI donor. Tapi ingat ini tidak bisa asal-asalan. Karena penularan penyakit dari ASI sangat rentan.
Juga bayi penerima donor ASI tidak boleh jauh-jauh jarak usianya dari bayi pendonor. Misal, penerima donor bayi usia 2 bulan, ASI donor dari ibu bayi usia 9 bulan. “Ini tidak bisa, tidak ada lagi zat gizi yang dibutuhkan bagi bayi penerima donor.” Papar Damayanti.
Belum lagi masalah agama, sangat sensitif sekali di Indonesia.
Selain dengan ASI donor, upaya yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut adalah dengan menggunakan susu formula khusus, yang sudah diatur oleh World Health Organization (WHO) dan Codex Alimentarius.
Codex Alimentarius adalah kumpulan standar-standar yang diterima diseluruh dunia, kode praktik, panduan dan rekomendasi lain yang berhubungan dengan makanan, produksi pangan dan keamanan pangan.
BACA JUGA: Hati-hati, Ternyata Kebiasaan Ini Bisa Menghambat Perkembangan Anak
Seperti diutarakan Damayanti, dalam anjuran WHO mengatakan, jika bayi yang mengalami penurunan berat badan usia 4 bulan atau lebih, bisa diberikan pemberian Makanan Pendamping ASI (MPASI).
Untuk bayi di bawah 4 bulan bisa dengan susu formula khusus.
Pemberian susu formula khusus ini pun perlu sebagai program terapi bilamana memang anak sudah mengalami ketertinggalan berat badan, apalagi sampai stunting, atau gizi kurang atau buruk.
“Seperti di Asmat. Jika memang benar ingin mengatasi gizi kurang, gizi buruk, stunting di sana, papua umumnya, bukan biskuit solusinya. Berikan mereka susu. Setelah teratasi masalah gizinya, baru berikan kepada mereka gizi dari pangan lokal.” Ungkap Damayanti.
Oleh karenanyalah, Damayanti berpendapat susu formula khusus ini, yang digunakan untuk terapi, sebaiknya masuk dalam program BPJS.
Dengan bahasa lain, susu formula khusus ini menjadi tanggungan pemerintah untuk anak-anak Indonesia yang membutuhkan.
BACA JUGA: Dekat dengan Marshanda, Pria Ini Cerdas Pendidikannya Master dari Amerika
Kenapa susu formula khusus? Karena stunting, gizi kurang, gizi buruk akar pemasalahannya kurangnya asupan protein, khususnya protein hewani.
“Dari hasil penelitian yang pernah saya lakukan terhadap pola makan anak stunting, yang membedakan anak stunting dan tidak adalah kecukupan protein hewaninya. Anak yang cukup mengonsumsi protein hewani tidak stunting.”
Diantara protein hewani, jelas Damayanti, protein susu berperan. Jadi protein hewani dan susu sama baik untuk mencegah dan mengatasi stunting.
BACA JUGA: Tak Mau Lakukan Maternity Shoot, Pria Ini Gantikan Istrinya & Hasilnya Keren!
Masih Banyak yang Keliru, Begini Cara Tepat Melakukan Toilet Training pada Anak
Penulis | : | Gazali Solahuddin |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR