Nakita.id - Sudah kurang lebih tiga bulan Si Kecil menjalani belajar dari rumah karena pandemi Covd-19.
Terkadang mendampingi Si Kecil belajar dari rumah membuat Moms dan Dads naik darah.
Namun dari pada naik darah ada baiknya Moms dan Dads mencari tips mendampingi Si Kecil belajar dari rumah.
Ada empat hal yang mempengaruhi prestasi belajar Si Kecil yaitu atensi, mindset, self-efficacy, dan ekspetasi, hal ini disampaikan Psikolog, Nadia E. Gideon, M.Psi., dalam acara Jakarta Child Development Center (JCDC) pada 22 Agustus 2020.
Maka dengan mengetahui dan menerapkan empat hal di atas Moms dan Dads tidak perlu naik darah saat mendampingi Si Kecil.
Jika penasaran, yuk simak penjelasan Nadia tentang empat hal yang mempengaruhi prestasi belajar anak ini.
Baca Juga: Bantu Anak Belajar Mengenal Angka dan Berhitung dengan Lakukan #FamilyQuality Menyenangkan Ini
Atensi
Nadia menjelaskan atensi adalah berapa lama seorang anak tahan dalam satu aktivitas.
"Atensi membantu mereka untuk menyelesaikan tugas. Misalnya anak satu tahun untuk bikin puzzle 15 piece bisa tidak kira-kira?" ucap Nadia.
Badan Kesehatan Dunia atau WHO sebenarnya sudah meneliti bahwa atensi setiap anak ada rumusnya.
"Atensi anak 0-5 tahun dikalikan 3. Jadi misalnya usianya 1 tahun nah 1 tahun dikali 3 jadi paling lama dia bisa tahan sekitar 3 menit mengerjakan suatu aktivitas," jelas Nadia.
Nadia lantas mengungkapkan jadi orangtua perlu menyesuaikan ekspetasi kepada kemampuan anak. Kalau tidak kita malah menjadi stres ketika belajar.
Selain atensi, daya juang seorang anak juga dipengaruhi lingkungannya.
"Jadi bagaimana lingkungannya orangtua, guru, dan orang dewasa di sekitar anak, bahkan pengasuhnya mendorong anak.
'Ayo kamu pasti bisa!'. Duh kalau berantakan rasanya pengen kita yang bantuin tetapi beri kesempatan mereka untuk melakukan juga.
Nah atensi mereka semakin panjang kalau mereka punya daya juang ini," papar Nadia.
Nadia mengungkapkan daya juang juang dipelajari dari orangtuanya, gurunya, dan orang dewasa di sekitar anak ketika mereka dalam kesulitan apakah langsung kabur atau berusaha untuk menyelesaikan.
"Ga usah dikerjain mama yang buat deh, nah itu apakah membuat mereka punya daya juang yang tinggi?" tanya Nadia.
Mindset
Nadia menjelaskan mindset adalah kepercayaan bahwa kita bisa menghasilkan hasil yang positif kalau usaha.
"Ada orang ngomong, 'Aduh emang saya ga pinter. Emang dari sononya.’ Ada juga orang yang ngomong, 'Kalau saya berusaha, saya pasti bisa nih.'
Nah mana yang Moms dan Dads mau anak miliki, Growth Mindset (berpikir bahwa saya yakin kalau saya berusaha hasilnya pasti bagus) atau Fixed Mindset (saya percaya bahwa sudah bakat genetik seperti ini)," ucap Nadia.
Nadia menjelaskan pikiran seperti itu (Growth Mindset) tidak timbul sendirinya. Butuh proses usaha dari orang-orang di sekitar anak untuk akhirnya si anak punya pemikiran seperti itu.
"Contoh: Pas Moms lagi masak, suami komentar: ‘Ma kok keasinan makanannya?' terus besoknya, ‘Ma ini kok gosong?’, besoknya lagi: ‘Ma ini kok kemanisan?’ setiap hari dikasih komentar negatif.
Akhirnya Si Ibu menjadi tidak suka memasak. Nah komentar-komentar orang di sekitar bisa membentuk anak mempunyai Growth Mindset lewat apa? Mengapresiasi usaha mereka," papar Nadia.
Nadia mengungkapkan, ada tipe-tipe bicara kita bisa tetap memasukkan feedback tetapi membuat mereka lebih bersemangat untuk lebih baik lagi.
"Misalnya: ’Udah bagus ya kamu semangat. Ibu suka deh, coba terus nanti lain kali lebih teliti ya.'
Jadi kita yang memasukkan si Growth mindset itu ke anak-anak,” jelas Nadia.
Self-efficacy
Nadia menjelaskan self-efficacy adalah kepercayaan bahwa kita bisa menguasai tugas ini.
"Misalnya ada pelajaran matematika dan bahasa inggris. Oh kalau bahasa inggris mah kecil, gampang, waktu kita ngerjainnya jadi lebih mudah.
Tetapi kalau kita takut dengan pelajaran itu misalnya takut dengan matematika: 'Aduh kayaknya mau ngerjain susah, ga bisa.' Nah itu self-efficacy," jelas Nadia.
Nadia mengungkapkan orangtua sebaiknya memberikan kesempatan anak untuk menghadapi tantangan dan kita hanya sebagai supporter, supaya mereka berpikir kalau mereka pasti bisa.
"Dan di sini di self-efficacy kita butuh tahu emotional state si anak. Anak tuh gimana sih rasanya kalau ngerjain matematika?
Kalau mereka cemberut berarti kita harus membuat suasana menjadi menyenangkan.
Misalnya mengajak anak menghitung kupu-kupu padahal secara tidak langsung belajar matematika.
Tetapi kita membuat emotional state si anak ketika melakukan itu senang. Nah ini lah self-efficacy," jelas Nadia.
Ekspetasi
Nadia mengungkapkan bukan ekspetasi anak tetapi yang sangat mempengaruhi hasil kerja ketika mereka belajar adalah ekspetasi orangtua, guru, dan orang dewasa di sekitar anak.
"Jadi bagaimana kasih ekspetasi tinggi atau tidak? Hasil penelitian di Amerika ada yang menarik.
Mereka meneliti ekspetasi seorang mama ketika anaknya mengerjakan soal matematika dari tiga negara Jepang, Taiwan, dan Amerika.
Dari negara seperti Jepang, orangtuanya memberi ekspetasi positif - mendorong anak: 'Ayo dicoba lagi kamu pasti bisa!’ dan itu jauh lebih bagus nilainya.
Sedangkan, di Amerika kebalikannya, merasa bahwa ‘Oh dari gennya kita pintar kok. Memang seperti ini tidak perlu usaha.’
Akhirnya hasilnya skor matematika paling tinggi dari Asia, Jepang, Taiwan, dan negara lainnya," jelas Nadia.
Maka hal yang perlu kita lakukan ke anak memberikan ekspetasi positif, tidak tinggi tidak rendah.
Buat anak berpikir bahwa mereka bisa kalau berusaha. Di sisi lain ketika kita tidak mempunyai ekspetasi itu juga mempengaruhi. Jadi sedang-sedang saja.
Penulis | : | Cecilia Ardisty |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR