Nakita.id - Kekerasan pada anak sudah menjadi momok di Indonesia.
Bukan hanya kekerasan dari orang dewasa pada anak tapi anak pun dapat melakukan kekerasan terhadap orang lain.
Misalnya saja saat Si Kecil mem-bully atau dibully temannya sendiri.
Ini adalah bagian dari kekerasan anak secara verbal yang ternyata banyak merusak mental anak.
Bahkan sudah bukan secara verbal saja Moms, kekerasan fisik yang dilakukan anak pada temannya banyak pula terjadi seperti mencuri, tawuran, merusak fasilitas, pelecehan seksual, bahkan sampai membunuh.
BACA JUGA: Miris! Kekerasan dan Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Masih Bermunculan
Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) sampai Agustus 2016 telah tercatat sebanyak 502 kasus kriminalitas dan kekerasan anak di Indonesia.
Belum lagi yang terjadi disepanjang tahun 2017 lalu, bukan tidak mungkin angka itu terus merangkak naik.
Fenomena ini tak bisa lagi dipandang sebelah mata. Jika terus dibiarkan, anak-anak yang menjadi pelaku ataupun korban kriminalitas dan kekerasan mungkin tidak bisa mendapat masa depan yang baik.
Anak yang melakukan kekerasaan atau tindak kriminal pasti dilatar belakangi oleh sesuatu.
Erasmus Napitupulu, Direktur Pelaksana dari Institute Criminal Justice Reform mengungkapkan hal itu dalam acara #Sudahsaatnya Orang Muda Bersuara oleh Youth Network on Violence Against Children (YNVAC) Jumat, (26/1/2018) di Jakarta Pusat.
“Anak-anak melakukan tindak kejahatan bisa berdasar dari berbagai faktor, pertama faktor kemiskinan, kedua lingkungan dimana dia bergaul dengan orang dewasa lalu coba-coba, ketiga dia ikut-ikutan,” ungkap Erasmus.
Ketika anak sudah terlibat dengan kasus kriminalitas, si anak harus mendapat hukuman, tapi hukuman untuknya tak bisa disetarakan dengan hukum pidana bagi orang dewasa.
Penulis | : | Fadhila Afifah |
Editor | : | Gisela Niken |
KOMENTAR