Nakita.id – Kasus yang menimpa Valencya (45) tengah menyita perhatian banyak orang.
Valencya sendiri dijatuhkan tuntutan 1 tahun penjara usai memarahi suaminya mabuk.
Putusan jaksa penuntut umum tersebut pun menjadi sorotan.
Ya, banyak masyarakat yang bingung, bagaimana bisa sang suami yang berbuat kesalahan, namun justru sang istri yang dituntut penjara.
Hal itulah yang membuat Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) ikut turun tangan menindaklanjuti kasus tersebut.
Kementerian PPPA sendiri sudah menindaklanjuti kasus tersebut sejak 14 November 2021 lalu.
Selain itu, sudah dilakukan koordinasi dengan berbagai pihak hingga akhirnya kasus tersebut sudah diambil alih oleh Mahkamah Agung.
“Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak sudah bekerja dari tangga 14 November 2021, sejak putusan itu berlaku dengan melakukan koordinasi bersama Kompolnas, Komisi Kejaksaan, sehingga kasus tersebut pertanggal 16 November 2021 sudah diambil alih oleh Mahkamah Agung,” ungkap Margareth Robin Korwa, SH, MH, Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam wawancara eksklusif bersama Nakita.id, Senin (22/11/2021).
Kasus tersebut bisa diambil alih oleh Mahkamah Agung karena diduga terjadinya malapraktik.
“Karena adanya dugaan malapraktik dalam penyidikan dan penuntutan. Kasus ini juga sudah dieksaminasi dan ada beberapa jaksa yang diperiksa termasuk Aspidum Kejati Jabar, kasus ini juga ditangani langsung oleh kejaksaan agung,” sambung Margareth.
Akibat dugaan malapraktik pada kasus tersebut, jaksa dan hakim yang menanganinnya pun sudah dibebastugaskan.
“Kami sangat berterimakasih karena koordinasi yang kami lakukan itu memang diperhatikan oleh komisi kejaksaan bahkan diperhatikan juga oleh Kompolnas. Jadi, kasus ini sudah diambil alih oleh Mahkamah Agung dan Jaksa maupun hakim dibebastugaskan,” tutur Margareth.
Faktor penyebab jaksa dan hakim yang menangani kasus tersebut bisa dibebastugaskan karena dinilai belum memahami betul Undang-undang KDRT tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga.
“Kejaksaan dan hakim itu belum responsif dan tidak memahami Undang-undang KDRT tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga secara utuh, dan kejaksaan dan hakim tidak berpedoman kepada pedoman nomor 3 tahun 2019 tentang tuntutan perkara tindak pidana umum yang dikeluarkan per tanggal 3 Desember 2019, dimana ketentuan pada Bab 2 butir 6 dan 7, serta tidak mempedomani pedoman nomor 1 tahun 2021 tentang akses keadilan bagi perempuan dan anak dalam perkara pidana,” Bongkar Margareth.
Ya, hakim dan jaksa seharusnya bisa berpedoman kepada 7 perintah harian jaksa agung.
“Karena sangat bijak, hakim dan jaksa itu harus berpedoman kepada 7 perintah harian jaksa agung yang merupakan norma atau kaidah dalam pelaksaan tugas perkara. Ini benar-benar sudah dituangkan di dalam perintah pedoman yang tadi sudah saya sampaikan termasuk Perma nomor 3 tahun 2017 terkait dengan penanganan perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum,” tutup Margareth.
Berkat koordinasi yang dilakukan Kementerian PPPA dengan berbagai pihak, maka tuntutan Valencya pun kini sudah dicabut.
Valencya mengaku sangat terharu usai tuntutannya tersebut dicabut.
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
Penulis | : | Shinta Dwi Ayu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR