Nakita.id - Kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi masalah serius yang tak boleh diabaikan begitu saja.
Berdasarkan catatan dari Komnas Perempuan di tahun 2020, selama 12 tahun terakhir, kekerasan terhadap perempuan di Indonesia terus meningkat.
Bahkan, kasusnya kini terus melonjak 792% atau sekitar 8 kali lipat.
Tindak kekerasan yang menimpa pada perempuan bisa terjadi kepada siapapun tanpa mengenal usia.
Sayangnya, kasus kekerasan terhadap perempuan yang semakin meningkat ini tak sejalin dengan pemahaman oleh para masyarakat di Indonesia.
Kekerasan terhadap perempuan seolah hal yang tabu untuk diperbincangkan.
Dalam acara webinar "UBAH NARASI: Peran Media dalam Pencegahan Kekerasan Terhadap Perempuan", Kamis (25/11/2021), Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, S.E, M.Si mengungkapkan jika kasus kekerasan terhadap perempuan semakin meningkat.
Sedangkan, pandemi Covid-19 memang kerap menjadi pemicu terjadinya kekerasan terhadap perempuan.
Namun, menurut Menteri PPPA, permasalahan kekerasan terhadap perempuan semakin marak karena adanya ketidakadilan dan ketimpangan gender yang memang telah menjadi budaya patriarki di Indonesia.
"Pandemi ini telah memperburuk ketimpangan gender dan membawakan situasi yang berbahaya bagi perempuan, tidak hanya menimbulkan krisis kesehatan pandemi juga menempatkan perempuan semakin rentan dan memperburuk ketimpangan gender," ujar Menteri PPPA.
Berdasarkan hasil survei di tahun 2016, Kementerian PPPA menyebutkan jika mayoritas kekerasan terhadap perempuan dilakukan pada usia 15-64 tahun.
Pelaku kekerasan terhadap perempuan biasanya kerap dilakukan dari lingkungan terdekat korban.
"Berdasarkan suvei pengalaman hidup perempuan nasional 2016, 1 dari 3 perempuan usia 15-64 tahun pernah mengalami kekerasan fisik dan seksual oleh pasangan dan selain pasangan semasa hidupnya," sambungnya.
Sedangkan, selama masa pandemi, kasus kekerasan terhadap perempuan ada beberapa jumlah kasus kekerasan yang paling banyak dilaporkan oleh korban ke Kementerian PPPA.
"Selama pandemi Oktober 2021, terdapat 14.971 kasus kekerasan terhadap perempuan dewasa dengan jumlah korban sebanyak 15.125 orang. Dari jumlah ini, kasus kekerasan fisik, psikis, seksual, dan penelantaran yang paling banyak dilaporkan," papar Menteri PPPA.
Pemberitaan yang membahas kasus kekerasan terhadap perempuan tentu banyak disajikan oleh seluruh media di Indonesia.
Disinilah peranan media dibutuhkan untuk menyajikan pemberitaan terkait kekerasan tanpa perlu menyudutkan korban atau merugikan salah satu pihak.
Menteri PPPA mengimbau untuk menurunkan kekerasan terhadap perempuan harus ada peran dari media, terdapat beberapa cara yang bisa dilakukan oleh media.
Media dapat berperan di wilayah promotif dan preventif.
Menteri PPPA mengimbau agar para media tidak lagi menjadikan korban yang mayoritasnya perempuan sebagai objek pemberitaan seksual.
"Tidak melakukan seksualisasi, stereotyping, dan menjadikan perempuan sebagai objek seksual," imbuh Menteri PPPA.
Menteri PPA meminta sebaiknya pemberitaan soal kekerasan terhadap perempuan harus disajikan sesuai dengan kode etik jurnalistik dan sesuai dengan UU Pers yang berlaku.
"Tetap mengedepankan etika jurnalisme dalam memberitakan kasus kekerasan terhadap perempuan," sambungnya.
Media harus bisa mengemas pemberitaan kekerasan terhadap perempuan sesuai kode etik yang berlaku tanpa perlu membuat judul yang terlalu clickbait, sehingga membuat para pembaca seakan tertipu dan salah mengartikan dari kekerasan terhadap perempuan.
"Praktik-praktik media seperti ini perlu kita hapuskan. Karena dapat memengaruhi mindset dan psikologi masyarakat dalam melihat, beropini, serta mengambil sikap dalam isu kekerasan terhadap perempuan," pungkas Menteri PPPA.
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
Penulis | : | Ruby Rachmadina |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR