Nakita.id - Moms dan Dads, bagaimana sih cara menggali passion dan potensi dalam diri anak?
Sebelumnya orang tua harus tahu, pentingnya menemukan passion dan potensi anak sejak dini untuk masa depan mereka.
Saat anak sudah mengetahuinya, akan lebih mudah bagi mereka untuk menemukan pendidikan dan pekerjaan yang cocok.
Seorang praktisi career coach dan mentor profesional sekaligus direktur the Vooyager, Stephanie Wijanarko, menjelaskan perbedaan passion dan potensi.
Stephanie menjelaskan bahwa passion dan potensi lebih sering juga dikenal dengan bakat dan minat.
"Biasanya orang mengira bakat dan minat itu sama, kalau minat itu ketertarikan pada suatu aktivitas," ujarnya dalam Instagram Live bersama Nakita, Rabu (8/12/2021).
"Kalau bakat seberapa bagus dia dalam melakukan suatu aktivitas," lanjutnya.
Namun, ada kalanya apa yang disukai Si Kecil belum tentu jadi bidang yang dikuasainya.
Misalnya anak suka sekali bernyanyi, namun suaranya tidak terlalu bagus untuk menjadi seorang penyanyi profesional.
Moms dan Dads sebaiknya jangan membatasi mereka, lantaran merasa anak tak punya potensi dan khawatir akan gagal.
Nah, cara yang bisa Moms dan Dads lakukan adalah mengenalkan experiential learning pada anak.
Stephanie menjelaskan, experiential learning bisa melalui proses praktik, refleksi dan diskusi.
Dijelaskan, dengan praktik anak bisa menangkap 70 persen daripada hanya menonton atau membaca.
Orang tua bisa memfasilitasi semua aktivitas dan kegiatan untuk dicoba oleh anak.
"Kalau enggak pernah dicoba, bagaimana Moms dan Dads bisa tahu anaknya ternyata bisanya apa dan sukanya apa?" kata Stephanie.
Namun ingat, tak semua anak bisa langsung menemukan minat dan bakatnya dalam sekali coba.
Inilah pentingnya mengenalkan beberapa aktivitas dan kegiatan baru untuk mereka.
"Tujuannya supaya anaknya enggak takut untuk coba dan punya rasa penasaran yang tinggi dan kalau misalnya gagal enggak masalah," kata Stephanie.
Kemudian, refleksi artinya membuat anak mengetahui bagaimana perasaan mereka setelah mereka mencoba sesuatu yang baru.
"Anaknya bisa merefleksikan sendiri setelah melakukan aktivitas, seperti enjoy enggak prosesnya atau justru susah dan tertantang," kata Stephanie.
Kemudian bisa dilakukan diskusi antara orang tua dan anak, apa yang membuat anak kesulitan dan coba mengatasinya bersama.
"Tujuan experiential learning, supaya anak lebih paham dengan teori-teori yang abstrak dan susah dimengerti," pungkasnya.
Selain itu, yang paling penting agar anak tidak takut gagal dalam proses menemukan passion dan potensi dalam diri mereka.
Penulis | : | Kintan Nabila |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR