Apabila kekerasan bersifat psikologis, korban berpikir bahwa hal ini tidak benar-benar termasuk dalam kategori KDRT karena tidak memiliki memar untuk ditunjukkan.
Namun, seringkali harga diri korban bisa terpengaruh ke titik di mana mereka percaya bahwa mereka pantas mendapatkan kata-kata kasar.
Terkadang, korban KDRT tidak punya tempat untuk pergi. Dan, itulah alasan mengapa mereka takut meninggalkan hubungan yang toksik seperti itu.
Mereka akan terus bertahan apalagi jika mereka secara finansial bergantung pada pelaku KDRT.
Korban KDRT bisa saja merasa gagal jika pernikahan mereka hancur dan mungkin mereka tidak akan kembali ke orang tua mereka.
Mereka juga mungkin merasa bahwa mengandalkan teman sering kali hanya menjadi solusi sementara.
Mereka takut temannya terlibat ke dalam pertengkaran dengan pasangan mereka.
Di sisi lain, korban KDRT seringkali begitu terisolasi sehingga mereka tidak memiliki kehidupan di luar rumah dan merasa sendirian tanpa teman yang dapat mereka andalkan.
Korban KDRT bisa jadi merasa takut kekerasan terjadi lebih buruk sehingga memilih untuk bertahan.
Jika korban memilih untuk melaporkan pasangannya, mereka berisiko mengalami kekerasan yang lebih parah, apabila polisi tidak melakukan apa pun untuk membantu mereka.
Bahkan jika mereka berhasil memenangkan sebuah kasus dan pasangan mereka dihukum, kemungkinan pelaku akan mencari korban setelah bebas untuk membalas dendam.
Salah satu alasan utama mengapa korban tidak meninggalkan pelakunya adalah karena mereka jatuh cinta.
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Diah Puspita Ningrum |
Editor | : | Diah Puspita Ningrum |
KOMENTAR