Nakita.id - Sama halnya seperti orang dewasa, anak juga perlu diajak berkomunikasi.
Komunikasi yang baik dan tepat dengan anak penting untuk masa tumbuh kembangnya.
Sayangnya, banyak orang tua yang belum paham betul bagaimana cara yang tepat berkomunikasi dengan anak.
Bagaimana resep berkomunikasi yang efektif dengan anak? Komunikasi yang efektif penting dalam kehidupan berkeluarga.
Masalahnya, berkomunikasi efektif tidak bisa dirumuskan secara eksak.
Setiap anak memiliki karakteristik berbeda-beda yang membutuhkan pendekatan berbeda-beda pula.
Jadi, orang tualah yang lebih tahu rumusan berkomunikasi efektif dengan anaknya.
Sebagai petunjuk, inilah beberapa hal yang dapat dijadikan patokan dalam sebuah resep berkomunikasi efektif.
Setiap komunikasi verbal pasti melibatkan kemampuan kognitif/berpikir.
Kemampuan berbahasa berkembang seiring dengan kemampuan kognitifr anak.
Kemampuan berpikir ini sejalan dengan meningkatnya usia.
Menurut Jean Piaget, tokoh psikologi perkembangan, kemampuan berpikir anak balita dengan usia sekolah memiliki perbedaan nyata.
Anak usia 2-7 tahun berada dalam tahap berpikir praoperasional.
Maksudnya, dalam memahami sesuatu anak masih berpikir konkret atau belum dapat berpikir secara abstrak. Kemampuan berbahasanya pun masih terbatas.
Sementara kemampuan berpikir anak usia sekolah (7-12 tahun) sudah berada pada tahap operasional.
Ia sudah dapat memahami hal-hal yang abstrak.
Contoh, kalau berbicara dengan si kakak yang berusia 10 tahun, orang tua bisa berkata, "Kamu enggak boleh mengambil barang orang lain tanpa izin. Itu namanya mencuri dan mencuri adalah perbuatan yang salah."
Tetapi jika berbicara dengan si adik yang berusia 5 tahun, orang tua tak bisa berkata seperti itu, melainkan, "Kalau Adek mengambil barang Nino, nanti Nino jadi sedih."
Agar terjalin komunikasi efektif antara orang tua dan anak balita, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
Gunakan bahasa yang singkat, sederhana, dan tidak panjang lebar.
Orang dewasa saja terkadang bingung jika mendengar pembicaran yang panjang lebar, apalagi anak.
Lantaran itu, gunakan komunikasi yang to the point sehingga maksud orang tua dapat lebih mudah dipahami. Contoh, "Dek, buang kertasnya di keranjang sampah, ya."
Gunakan bahasa sekonkret mungkin. Anak balita tak akan paham bila orangtua berkata, misal, "Kamu tidak boleh egois terhadap teman."
Ini karena kemampuan kognitifnya berada dalam tahap praoperasional.
Lebih baik katakan, "Sayang, bagi kuenya dong ke Rara. Kan, enak kalau makan sama-sama."
Sering orangtua meramalkan suatu kejadian yang belum terjadi atau sesuatu yang tidak nyata mengenai anaknya.
"Adek jangan panjat-panjat pohon itu nanti kalau jatuh kaki Adek bisa patah, lalu Adek dibawa ke dokter terus dioperasi."
Sebaiknya katakan saja, "Hati-hati, ya kalau memanjat pohon itu."
Sering kali pada anak yang lebih kecil, bahasa tubuh orangtua yang bersifat nonverbal bisa mengomunikasikan sesuatu karena kemampuan bahasanya memang masih terbatas.
Umpama, si Kecil yang berusia 2 tahun tampak diam di suatu pojokan dan wajahnya menegang.
Orangtua hendaknya memancing anak untuk bicara, "Kenapa Dek, kamu pup, ya?"
Perhatikan intonasi dan nada suara Moms.
Intonasi yang tidak jelas dengan nada terburu-buru bisa membuat anak jadi tidak ngeh dengan apa yang dibicarakan.
Selain kemampuan berpikir anak sudah berada pada tahap operasional, pergaulan anak usia sekolah juga semakin kompleks, tak hanya sebatas lingkungan keluarga tetapi juga teman bermain di luar keluarganya atau peer group.
Hal ini sering menimbulkan kendala komunikasi (jarak) dengan orang tua, karena umumnya mereka lebih senang mencurahkan isi hatinya pada teman ketimbang pada orang tuanya.
Karena itulah, agar komunikasi efektif dapat tercipta, ada beberapa hal penting yang perlu mendapat perhatian orangtua, di antaranya:
Anak sudah lancar berbicara, lancar berbahasa, bisa mengekspresikan perasaan dan pikiran serta ide-idenya, maka diperlukan sikap terbuka dan menghargai yang lebih nyata dari orangtua.
Peran orangtua lebih banyak sebagai pendengar dan sedikit berbicara.
Dengan lebih banyak mendengarkan anak, orangtua jadi dapat mengetahui kebutuhannya, apa yang diinginkan, dirasakan, diharapkan dan lainnya.
Namun, bukan berarti orangtua lantas pasif. Yang benar adalah bersikaplah proaktif.
Saat melihat anak lemas sepulang sekolah, orangtua bisa bertanya, "Ada apa, Sayang, kok hari ini kelihatannya lemes?"
Perhatian seperti ini akan mendorong anak untuk mau bercerita mengenai keadaannya kepada orangtua.
Tempatkan diri Moms sebagai sahabat anak dan sediakan waktu khusus untuk berdua saja dengannya sambil makan bersama atau sekadar menemani anak belajar.
Dengan orangtua menjadikan dirinya sebagai sahabat, maka anak pun akan mau bersikap terbuka, sehingga komunikasi dapat terjalin. (Sumber: Tabloid Nakita)
Rekap Perjalanan Bisnis 2024 TikTok, Tokopedia dan ShopTokopedia: Sukses Ciptakan Peluang dan Dorong Pertumbuhan Ekonomi Digital
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR