Nakita.id - Setiap orang pasti memiliki karakter masing-masing.
Akan tetapi, jika orang tersebut pasangan kita, tentu kita harus menerimanya.
Namun bagaimana jika pasangan kita memiliki sifat yang tidak baik?
Ternyata banyak yang memiliki pasangan pelit.
Sebenarnya tak masalah jika pelitnya dalam arti hemat.
Tapi kalau pelitnya lantaran tak mau berbagi, ajak ia bicara.
Kayaknya karakter ini sudah menjadi semacam trade mark kaum Moms.
Bukankah para Moms lebih suka berkeliling pasar menawar kesana-kemari demi mendapatkan harga termurah?
Orang luar boleh saja berkomentar, "Kok, mau beli gitu aja mesti dihitung-hitung banget? Berapa, sih, selisih harganya? Apa enggak capek buang-buang energi?"
Padahal, Moms model ini belum tentu pelit.
Siapa tahu ia cuma bermaksud hemat. Apalagi secara sosiologis, ibu-ibu di negeri kita umumnya bertanggung jawab memegang keuangan keluarga, sementara suami bertugas mencari nafkah.
Nah, sebagai menejer keuangan keluarga, tentu ia harus pandai-pandai mengatur keuangan keluarganya, bukan?
Itu sebab, perbedaan-perbedaan harga yang oleh orang luar dinilai sepele, bagi Moms sangat berarti.
Terlebih bila ia memperhitungkannya berdasarkan akumulasi atau penjumlahan.
Coba, bagaimana jadinya bila belanja keluarga tekor?
Moms juga, kan, yang biasanya dituduh tak becus pegang uang? Sementara Dads dan anak biasanya tak mau tahu.
Mereka cuma tahu beres saja karena tak mau kelewat njlimet memperhitungkan perbedaan-perbedaan harga tadi.
Jadi kalau pelitnya dalam arti hemat, dipahami saja.
Ketimbang punya istri boros yang bisanya cuma menghambur-hamburkan uang melulu.
Apalagi, biasanya karakter pelit yang hemat ini lebih dimunculkan oleh kondisi tertentu, semisal, terbiasa menjalani kehidupan serba susah dari sudut ekonomi, hingga ia harus menabung dulu untuk mendapatkan yang diinginkannya. Malah bagus, kan?
Si Kecil pun bisa belajar menabung dari Moms, sekaligus belajar menahan diri untuk menunda keinginannya.
Sebaliknya, si pelit dalam arti tak mau berbagi, biasanya diwarnai posesivitas, yaitu keinginan untuk memiliki yang begitu kuat.
Karakter ini sebenarnya dibawa dari masa 5 tahun pertama.
Bila pada tahap usia ini anak kelewat diatur-atur hingga terbiasa menahan segala keinginannya karena tak boleh ini maupun itu, ia berkembang jadi pribadi yang tak mau berbagi.
Namun dengan usia terus bertambah, semestinya ia makin bisa membedakan miliknya dan milik orang lain, serta lebih mampu meminjam dan meminjamkan miliknya.
Bukan malah keterusan, sampai sudah jadi ibu pun masih pelit enggak ketulungan.
Ada baiknya pasangan mulai membicarakan hal ini dengan kepala dingin.
Mulailah dengan mengenali kebiasaan keuangan masing-masing.
Apakah termasuk yang saver atau pemboros?
Bagaimana dengan pola investasi, mana yang dipilih, saham, reksadana, deposito atau tabungan?
Mengenali semua perilaku keuangan masing-masing akan memberikan banyak input bagi berdua untuk dapat mengambil keputusan terbaik.
Dengan perbedaan tersebut, yang terbaik yang bisa dilakukan adalah tetap memberikan masing-masing pihak ruangan untuk menjadi dirinya sendirinya, namun berkomitmen untuk tetap menomorsatukan kepentingan keluarga diatas kepentingan pribadi.
(Sumber: Tabloid Nakita)
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR