Ketidakstabilan produksi hormon tersebut dapat dilihat dari siklus haid yang berubah-ubah. Kondisi emosional yang terganggu akan menimbulkan impuls listrik di otak yang kemudian tersambung ke pusat hormonal yang juga berada di dalam otak.
Akhirnya, pengeluaran hormonal jadi terganggu. Padahal, pengeluaran yang stabil sangat menentukan kematangan sel telur.
Bila sel telur tidak matang, maka tak dapat dibuahi oleh sperma, sebagai awal dari kehamilan.
Andaipun kondisi emosional yang tak stabil hanya terjadi sehari dalam sebulan, tetap saja berpengaruh pada kegagalan kehamilan.
Sebab, proses pematangan berlangsung secara bertahap dalam satu bulan. Didukung dengan pengeluaran hormon hari demi hari. Jadi, hormon yang keluar harus selalu stabil setiap harinya.
Bila sehari saja tak stabil, akan mengacaukan pengeluaran hormon dan mengganggu proses pematangan sel telur.
Berbeda dengan wanita, proses pembentukan sperma pada lelaki tidak dipengaruhi kondisi emosionalnya.
Meskipun saat itu emosinya sedang jelek, produksi tetap berlangsung dan mampu mematangkan diri sehingga bisa membuahi.
Jadi, kalau memang ingin hamil kembali, si ibu harus berusaha mengatasi emosionalnya.
Jika kondisinya stabil, stres bisa dihindari, dan diharapkan kematangan sel telur bisa dicapai dengan baik.
Memang, tak mudah untuk mengontrol emosi apalagi bila banyak masalah. Dari si kecil yang terus-menerus sakit, sulit makan, sering rewel, atau hal lain yang dapat memicu kesedihan, kekesalan, bahkan ketertekanan pada si ibu.
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Penulis | : | Poetri Hanzani |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR