Nakita.id – Stunting menjadi ancaman bagi tumbuh kembang anak Indonesia.
Permasalahan stunting di Tanah Air memang menunjukkan angka yang menurun per tahunnya.
Tetapi, jika dilihat kembali kondisi saat ini masih di atas batas yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebanyak 20 persen.
Saat diwawancarai oleh Nakita, Sabtu (7/1/2023) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) selaku Kepala BKKBN mengungkapkan jika stunting jadi salah satu masalah kesehatan yang merugikan bangsa.
Apalagi jika angka stunting tidak menunjukkan adanya penurunan sama sekali.
"Kalau seandainya stunting gakbisa turun, stunting tetap tinggi ini betul-betul merugikan bangsa," ucap Hasto.
Anak yang mengalami stunting cenderung tidak produktif.
Ini bisa dibandingkan dengan anak lainnya yang tidak mengalami stunting.
Stunting bisa berpotensi memperlambat perkembangan otak Si Kecil.
Kondisi seperti ini tentu saja bisa menimbulkan dampak jangka panjang.
Intelektual pada anak yang memiliki stunting cenderung terbatas.
Hasto mengungkapkan jika anak dengan stunting dia perlu memahami segala sesuatu hal secara berulang kali.
Terutama dalam kemampuan mereka membaca dan memahami sesuatu.
"Ketika stunting tinggi, kemampuan intelektualnya rendah sehingga dia baca dua sampai tiga kali belum paham," jelas Hasto.
Dikarenakan intelektual yang terbatas membuat anak stunting memiliki skill yang terbatas juga.
Hasto mengungkapkan jika pihaknya mengkhawatirkan kondisi stunting jika angkanya tidak mengalami penurunan.
Dikhawatirkan puncak bonus demografi di Indonesia pada tahun 2045 terancam terbuang sia-sia.
Stunting bisa menghambat untuk Indonesia memetik bonus demografi.
"Bangsa kita jadi medium dan low skill. Kalau seperti itu kita tidak akan mendapatkan bonus demografi adalah tahun Indonesia emas," ungkapnya.
Padahal bonus demografi bisa menjadi kesempatan baik yang tidak bisa terulang.
Pada tahun-tahun yang akan datang, Indonesia akan kebanjiran usia produktif.
Namun Hasto ragu jika banyak usia produktif tetapi hanya usianya saja dan orangnya tidak produktif.
"Ketika kita kebanjiran usia produktif terus ternyata banyaknya usia produktif ternyata hanya usianya dan orangnya tidak produktif," tuturnya.
Bonus demografi sendiri merupakan suatu keadaan penduduk yang masuk dalam usia produktif.
Jumlah usia produktif lebih banyak dibandingkan dengan penduduk usia tidak produktif.
Jika ini terjadi, apa dampaknya?
Ya, menurut Hasto bisa saja usia yang seharusnya produktif ini hanya akan menjadi beban negara.
Padahal seharusnya mereka ini bisa menjadi modal pembangunan bagi bangsa.
Namun, semua ini tidak bisa terjadi apabila kondisi stunting di Indonesia masih tinggi.
Hasto mengkhawatirkan puncak bonus demografi ini tidak bisa dimanfaatkan dengan baik.
"Sehingga mereka hanya menjadi beban negara, bukan jadi modal pembangunan," ujar Hasto.
"Harapan optimis itu tadi diam-diam kebalikannya," sambungnya.
Baca Juga: Hari Gizi Nasional 2023, Cegah Stunting Sejak Dini dengan Perbanyak Konsumsi Protein Hewani
Dengan begitu, penurunan stunting harus dilakukan secara bersama-sama.
Untuk bisa mencapai target nasional pada 2024, berari harus ada kerja sama bagi seluruh lapisan masyarakat.
Ada banyak PR yang harus dilakukan yang tidak hanya dibebankan pada BKKBN saja.
BKKBN memang diamanahkan untuk menurunkan angka stunting di Indonesia.
Program percepatan penurunan stunting jadi program paling penting.
Program ini dijalani untuk membangun manusia Indonesia yang memiliki daya saing di masa depan.
Percepatan penurunan stunting jadi program prioritas Presiden Joko Widodo.
Diharapkan di tahun 2045, Indonesa tumbuh menjadi negara yang maju.
Serta meruoakan kekuatan ekonomi terbesar keempat di dunia.
Diketahui, sesuai Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting, BKKBN mendapatkan amanat sebagai Ketua Pelaksana Program Percepatan Penurunan Stunting.
Dengan komitmen bersama diharapkan stunting bisa menurun sebesar 3% per tahunnya sehingga dapat mencapai target yang sudah ditetapkan presiden.
Serunya Kegiatan Peluncuran SoKlin Liquid Nature French Lilac di Rumah Atsiri Indonesia
Penulis | : | Ruby Rachmadina |
Editor | : | Kirana Riyantika |
KOMENTAR