Nakita.id - Angka stunting di Indonesia mulai dapat dikendalikan.
Pada Rapat Kerja Nasional BKKBN, Rabu (25/1/2023), Kementerian Kesehatan mengumumkan hasil Survei Status Gizi Indonesia (SSGI).
Prevalensi stunting di Indonesia diketahui turun dari 24,4% di tahun 2021 menjadi 21,6% di tahun 2022.
Meski angkanya turun bukan berarti stunting sudah tidak ada lagi di tanah air.
Diketahui, hampir tiga dari sepuluh anak Indonesia memiliki potensi besar mengalami stunting.
Jumlah kasus stunting di kota-kota besar tergolong tinggi.
Lantas, apa saja hal yang mendasari tingginya angka stunting di kota-kota besar?
Dalam Facebook Live Referenata bersama Nakita, Selasa (24/12/2023) dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K) selaku Kepala BKKBN mengatakan jika terdapat sejumlah faktor yang menyebabkan angka stunting masih tinggi di beberapa kota.
Menurutnya, stunting terjadi bukan karena persentasenya, tetapi karena penduduknya yang besar.
Angka stunting yang kerap naik di beberapa kota disebabkan juga karena lingkungan yang tidak sehat.
Menurutnya, kondisi lingkungan yang kotor bisa memengaruhi stunting hingga 70 persen.
"Stunting bisa terjadi di perkotaan terutama di kota yang kumuh, sarana lingkungan kurang bagus sangat besar pengaruhnya karena stunting itu 70 persen dipengaruhi karena faktor sensitif," ucap Hasto.
Kondisi sanitasi yang buruk serta tempat tinggal yang tidak memadai bisa berdampak pada tumbuh kembang anak.
Sanitasi yang buruk bisa menimbulkan penyakit infeksi pada balita.
Si Kecil bisa saja mengalami diare atau cacingan yang dapat mengganggu proses pencernaan dalam proses penyerapan nutrisi.
Tentu saja, jika dibiarkan dalam waktu yang cukup lama, permasalahan stunting sudah tidak bisa dihindarkan.
Sedangkan faktor sensitif seperti rumah yang tidak layak huni, jamban yang tidak layak, sumber air bersih yang tidak berstandar," ungkap Hasto.
Menurut Hasto pada realitanya masih banyak warga yang menggunakan air sumur untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
Tetapi letak sumur dan pembuangan yang saling berdekatan membuat kualitas air di dalamya tercemar.
Dikhawatirkan terdapat bakteri ecoli yang apabila masuk ke dalam perut menyebabkan masalah kesehatan pada satu anggota keluarga, termasuk anak-anak.
"Sumur antara jamban sangat dekat sehingga bakteri ecoli bisa masuk ke dalam sumur," sambungnya.
Baca Juga: Nycta Gina Pilah-pilih Camilan untuk Anak, Bisa Ditiru untuk Mencegah Terjadinya Stunting
Bukan hanya itu, ada faktor lainnya yang menyebabkan angka stunting di kota-kota besar cukup tinggi.
Hasto mengungkapkan pola makan bisa memengaruhi terjadinya stunting.
Orang-orang di perkotaan cenderung lebih memilih untuk makan-makanan praktis dan tidak perlu waktu lama dalam pengolahannya.
Tetapi, mereka juga tidak memikirkan apakah makanan yang dikonsumsi ini bisa memenuhi nutrisi harian atau tidak.
Bahkan, tak sedikit yang jarang mengonsumsi makanan sehat seperti ikan atau telur.
"Faktor spesifik mengenai makanan. Ada orangtua yang punya mindset kalau makan itu banyak yang menarik tetapi tidak bergizi. Dia tidak suka makan ikan, makan telur, sukanya makan mie," tuturnya.
Padahal, dengan makan-makanan bergizi jadi salah satu cara untuk mencegah terjadinya stunting.
Pemberian makanan bergizi harus dipenuhi sejak masa kehamilan dan untuk bayi bisa diberikan pada masa MPASI pertamanya.
Stunting kondisi di mana gagal tumbuh dengan gagal tumbuh ini, maka tidak mencapai tinggi badan yang optimal sehingga stunting pasti pendek.
Ketika anak stunting, mereka tidak bisa memiliki intelektual, skill yang optimal, sehingga anak akan mengalami kesulitan untuk bisa bersaing secara akademik dan dikhawatirkan bisa terjangkit penyakit lainnya yang lebih berisiko.
"Tidak bisa mencapai optimal kemampuan intelektual, skill sehingga untuk bersaing juga berat secara akademik. Hari tua nanti orang lain belum mengalami masalah kesehatan, mungkin anak yang stunting sudah ada masalah kesehatan seperti gangguan darah tinggi, stroke, jantung, kencing manis," pungkas Hasto.
Baca Juga: Pentingnya Gizi Seimbang dalam Kehidupan Sehari-hari Bersama Nestlé Indonesia
Penulis | : | Ruby Rachmadina |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR