Nakita.id – Saat ini, mata pelajaran Pendidikan Pancasila kelas X SMA Kurikulum Merdeka sedang berada di bab 1.
Adapun materi yang dipelajari adalah mengenai Pancasila sebagai pemersatu bangsa.
Pada artikel Kurikulum Merdeka sebelumnya, kita telah mempelajari mengenai gagasan 10 tokoh pergerakan nasional tentang dasar negara dalam sidang pertama BPUPK.
Kini, kita akan berfokus pada gagasan Sukarno tentang Pancasila dalam Pidato 1 Juni 1945.
Pasalnya, hanya Sukarno satu-satunya anggota yang menjawab secara utuh dan komprehensif pertanyaan Ketua BPUPK tentang dasar negara Indonesia.
Dalam buku Pendidikan Pancasila kelas X SMA Kurikulum Merdeka, dijelaskan bahwa dalam pidato 1 Juni 1945, Sukarno menjawab pertanyaan dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat mengenai dasar negara untuk Indonesia.
Pada pidato tersebut, Sukarno berpidato selama satu jam, sekitar pukul 09.00 sampai dengan 10.00 tanpa teks.
Di awal pidatonya, Sukarno mengatakan hal berikut.
“Sesudah tiga hari berturut-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapat kehormatan dari Paduka Tuan Ketua yang mulia untuk mengemukakan pula pendapat saya… Ma’af, beribu ma’af! Banyak anggota telah berpidato, dan dalam pidato mereka itu diutarakan hal-hal yang sebenarnya bukan permintaan Paduka Tuan Ketua yang mulia, yaitu bukan dasarnya Indonesia Merdeka. Menurut anggapan saya, yang diminta oleh Paduka Tuan Ketua yang mulia ialah, dalam bahasa Belanda, “filosofische grondslag” dari pada Indonesia merdeka”.
Berdasarkan pidatonya pada 1 Juni 1945, Sukarno mengemukakan bahwa filosofische grondslag atau pemikiran yang akan menjadi dasar bagi negara Indonesia merdeka harus bersifat kuat dan mencerminkan nilai-nilai paling mendasar, hakiki, dan penting untuk mengatur kehidupan bernegara yang didirikan di atasnya.
Oleh karena itu, dalam pidatonya tersebut, Sukarno menjelaskan bahwa dasar negara yang diusulkannya bagi Indonesia merdeka adalah sebagai berikut.
Penulis | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR