Nakita.id - Hari ini, Selasa (4/6/2024), Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak (KIA) pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan disepakati untuk disahkan dalam Rapat Pembahasan Tingkat II Sidang Paripurna Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI).
Dalam laman resmi KemenPPPA, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), Bintang Puspayoga mengatakan, RUU ini merupakan wujud kehadiran Negara dalam meningkatkan kesejahteraan ibu dan anak sebagai sumber daya manusia dan generasi penerus bangsa yang unggul di masa depan.
“Izinkanlah kami mewakili Presiden Republik Indonesia (RI) dalam Rapat Paripurna yang terhormat ini dengan mengucap puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa, Presiden RI menyatakan setuju Rancangan Undang-Undang tentang Kesejahteraan Ibu dan Anak Pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
"Rumusan ini telah diuji kohesivitas substansinya sehingga lebih tajam dan komprehensif,” ujar Menteri PPPA, saat menyampaikan Pendapat Akhir Presiden atas RUU KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan.
Menteri PPPA menjelaskan, secara substansial RUU ini menjamin hak-hak anak pada fase seribu hari pertama kehidupan, sekaligus menetapkan kewajiban ayah, ibu, dan keluarga.
Menurutnya, kesejahteraan ibu dan anak merupakan tanggung jawab bersama.
Selain itu, seorang ibu juga memerlukan ruang untuk tetap berdaya selama anak dalam fase seribu hari pertama kehidupan.
“Oleh karenanya, suami wajib memberikan kesehatan, gizi, dukungan pemberian air susu ibu, dan memastikan istri dan anak mendapatkan pelayanan kesehatan dan gizi.
"Meringankan beban ibu dan terciptanya lingkungan yang ramah ibu dan anak, baik di keluarga, di tempat kerja, maupun di ruang publik merupakan prasyarat penting kesejahteraan ibu dan anak pada fase seribu hari pertama kehidupan,” tegas Menteri PPPA.
RUU tentang KIA pada Fase Seribu Hari Pertama Kehidupan terdiri atas 9 (sembilan) bab dan 46 pasal yang di antaranya mengatur hak dan kewajiban, tugas dan wewenang, penyelenggaraan kesejahteraan ibu dan anak, data dan informasi, pendanaan, dan partisipasi masyarakat.
Salah satu isinya yakni memberikan cuti melahirkan selama 6 bulan bagi pekerja.
Baca Juga: Peringatan Hari Pekerja Nasional, Simak Aturan Terbaru Cuti Melahirkan
Dalam Pasal 4 ayat 2 (a), dijelaskan bahwa ibu yang bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan hingga enam bulan.
"Setiap ibu bekerja berhak mendapatkan cuti melahirkan paling sedikit 6 (enam) bulan."
Sementara itu, dalam Pasal 4 juga dipaparkan hak lain dari ibu bekerja yang mengalami keguguran dan sedang menyusui anaknya.
"Setiap ibu bekerja berhak mendapatkan waktu istirahat 1,5 (satu setengah) bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan jika mengalami keguguran," demikian isi Pasal 4 ayat 2 (b).
"Setiap ibu bekerja berhak mendapatkan kesempatan dan tempat untuk melakukan laktasi (menyusui, menyiapkan, dan/atau menyimpan air sus ibu perah (ASIP) selama waktu kerja; dan/atau (ASIP) selama waktu kerja; dan/atau mendapatkan cuti yang diperlukan untuk kepentingan terbaik bagi Anak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan," isi Pasal 4 ayat 2 (c dan d).
RUU KIA juga menjamin pemenuhan hak ibu melahirkan dan/atau menyusui untuk mendapatkan pendampingan dari suami dan/atau keluarga.
Dalam hal ini disebutkan bahwa ayah bisa mendapatkan cuti pendampingan paling lama 40 hari.
"(Suami) berhak mendapatkan hak cuti pendampingan: melahirkan paling lama 40 (empat puluh) hari," demikian isi Pasal 6 ayat 2 (a).
Bila Bunda bekerja mengalami keguguran, suami juga mendapatkan hak cuti pendampingan paling lama tujuh hari.
Hal ini tertulis di Pasal 6 ayat 2 (b).
Baca Juga: Tips dan Panduan Kembali Bekerja Setelah Cuti Melahirkan Agar Tetap Nyaman dan Tenang
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
KOMENTAR