Nakita.id - Terjadi ledakan di tiga lokasi berbeda di Surabaya, Jawa Timur, pagi tadi, Minggu 13 Mei 2018.
Tiga titik tersbeut yakni Gereja Santa Maria Tak Bercela, satu jam kemudian terjadi di Gereja Kristen Indonesia Jalan Diponegoro dan menyusul ledakan berikutnya di Jalan Arjuno.
Kejadian bom di tiga lokasi ini mengakibatkan 9 orang meninggal dunia, dan 40 orang lainnya luka-luka.
BACA JUGA: Cara Mudah Kupas Buah Nangka Tanpa Lengket di Tangan, Hanya 2 Menit!
Saat ini, korban yang luka-luka dirawat di RSUD Soetomo dan RS Bhayangkara Ngagel.
Menurut keterangan Kabid Humas Polda Jatim Kombes Pol Frans Barung Mangera, mengatakan ledakan yang terjadi di Gereja Santa Maria Tak Bercela merupakan aksi bom bunuh diri.
"Kami lihat ini kejadian upaya bunuh diri. Pelaku meninggal di tempat," ujarnya.
Frans memastikan pelaku bom bunuh diri di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya, Jawa Timur, tewas di tempat.
BACA JUGA: Minimalis, Intip Potret Rumah Baru Caca Tengker, Adik Nagita Slavina!
Sementara, ada seorang saksi mata dari ledakan bom di Gereja Kristen Indonesia (GKI) di Jalan Diponegoro Surabaya, Minggu (13/5/2018).
Seorang pria bernama Tardiyanto (49) mengatakan ketika itu dirinya melihat ada sekitar 3 perempuan hendak memasuki GKI Jalan Diponegoro Surabaya sekitar pukul 07.25 WIB.
"Tiga orang itu semuanya cewek, pakaiannya mereka serba hitam, bercadar, bawa tas, dan pakai rompi," ungkap pria yang akrap disapa Tardi itu.
Ia menambahkan, dirinya juga melihat beberapa orang tergeletak di parkiran sepeda motor.
BACA JUGA: Ini Alasan dr. Reisa Broto Sunat Anaknya Saat Masih Berusia 1 Bulan
"Saya lihat korbannya pelaku bomnya semua, saya tidak bohong, satu cewek itu bawa anak kecil dua anak remaja, sepertinya anaknya," ujarnya.
Dari tragisnya kejadian bom di tiga lokasi di Surabaya ini, mungkin muncul pertanyaan tertentu.
Mengapa seseorang bisa melakukan bom bunuh diri?
Dilansir dari Psychology Today, penjelasan di balik seseorang melakukan bom bunuh diri memang cukup rumit.
Noam Shpancer, Ph.D, profesor psikologi di Otterbein University di Westerville, Ohio dan penulis novel The Good Psychologist memaparkan bahwa untuk memahami tentang pelaku bom bunuh diri, perlu menerapkan analisis yang lebih beragam.
Pertama, ada ketertarikan manusia dengan kebrutalan.
Seorang filsuf Inggris, Jonathan Glover, mengatakan bahwa manusia memiliki daya tarik dengan menimbulkan kebrutalan pada dirinya sendiri.
Brutalitas, untuk manusia bukan hanya alat untuk mencapai sebuah tujuan, tetapi juga tujuan itu sendiri.
BACA JUGA: Bukan Hanya Bentuk Alis, Bekas Lipstik Juga Menentukan Kepribadian Lo!
Lalu ada kekuatan masyarakat.
Masyarakat mengenalkan individu kepada bahasa, pandangan dunia, identitas, aturan dan ritual untuk dijalani.
Begitu masyarakat menetapkan serangkaian nilai dan cara yang diterima, individu-individu dalam masyarakat tersebut dipaksa untuk mengikuti nilai dan cara yang sudah ditentukan.
Pemboman bunuh diri, dalam konteks ini, hanyalah tradisi panjang sebuah ritual brutal yang disetujui secara sosial.
BACA JUGA: Tengok Pesona Aries Susanti, Si 'Perempuan Laba-laba' yang Jadi Juara Dunia
Dan ini diberlakukan di berbagai masyarakat sepanjang sejarah.
Faktor tambahan yaitu keyakinan bahwa individu dan kelompok memiliki sebuah kebenaran.
Suatu hal, bagi orang mungkin nampak aneh, tetapi belum tentu tidak bagi diri sendiri.
Dari penjelasan di atas, Noam menyimpulkan bahwa pemboman bunuh diri menjadi adaptasi dari ketertarikan manusia terhadap brutalitas, kekuatan masyarakat, dan juga keyakinan sejati.
"Itu bukan tindakan gila dari orang gila, tetapi seperti ritual sosial," tulisnya pada situs Psychology Today.
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
Source | : | psychologytoday.com,Tribun Jatim |
Penulis | : | Amelia Puteri |
Editor | : | Kusmiyati |
KOMENTAR