Fenomena Pernikahan di Bawah Umur Berisiko Kematian di Usia Belia dan Berbagai Dampak Lainnya, Bagaimana Pencegahannya?

By Cynthia Paramitha Trisnanda, Rabu, 12 September 2018 | 07:06 WIB
Ilustrasi pernikahan di bawah umur (Tribunnews)

RK yang berusia 13 tahun menikah dengan MA yang usianya, jauh lebih tua.

MA berusia 17 saat menikah dengan RK.

Tak main-main, pernikahan yang berlangsung di Kabupaten Bantaeng ini maharnya terbilang cukup besar.

RK menikahi MA dengan mahar Rp56 juta. Sebelum menikah, RK dan MA juga ternyata sudah menjalin hubungan asmara selama satu tahun belakangan.

Saat ditanyai bagaimana nasib sekolah mereka berdua setelah menikah, keduanya mengatakan memilih berhenti sekolah dan membangun rumah tangga.

“Berhenti sekolah, urus rumah tangga,” ujar MA. Disambung dengan pernyataan RK, “Mau berhenti (sekolah), sama”.

RK juga mengatakan bahwa ia siap menikahi istrinya karena ia bisa bekerja sebagai petani bawang.

Adanya pernikahan RK dan MA, juru bicara Kemenag Bantaeng membenarkan pernikahan kedua bocah tersebut, namun Kemenag mengatakan bahwa pernikahan dua bocah ini tanpa sepengetahuan KUA Uluere.

“Mereka menikah tanpa sepengetahuan pihak KUA Uluere dan mereka diam-diam melangsungkan pernikahan itu tanpa melaporkannya,” ujar Kemenag Bantaeng.

Dari berbagai kasus dan hanya enam yang bisa dirangkum, berbagai alasan dan juga latar belakang menjadikan fenomena pernikahan dini bahkan pernikahan di usia yang sangat belia seolah terlihat biasa.

Namun tanpa kita sadari, dari berbagai fenomena tersebut, akan bermunculan dampak-dampak, juga bahaya yang seolah dilupakan oleh keluarga bahkan orangtua si korban.

Dalam fenomena ini, anak di usia kurang dari 18 tahun menjadi korban, meskipun ia memang berniat menikahi atau dinikahi.