Nakita.id - Vaksinasi penting dilakukan sejak bayi untuk terhindar dari penyakit oleh bakteri dan virus yang bisa mematikan.
Karena vaksin, beberapa penyakit berisiko tinggi ini pun mulai mengalami kepunahan, salah satunya tetanus.
Namun, tetanus kembali muncul di Oregon, di mana selama lebih dari 30 tahun kasus tetanus hanya mitos belaka.
Mengutip dari The Washington Post, pada 2017 ketika seorang anak laki-laki berusia 6 tahun yang tidak divaksinasi tiba di sebuah rumah sakit di negara bagian itu, mengalami kejang rahang dan berjuang untuk bernapas, menurut sebuah studi kasus baru dari Centers for Disease Control and Prevention.
Baca Juga : Mahasiswi Jual Sel Telur Demi Beli iPhone, Akhirnya Justru Bernasib Tragis
Anak itu sedang bermain di pertanian ketika kepalanya terluka oleh sesuatu, kata laporan itu.
Orangtuanya membersihkan dan menjahit luka di rumah, tetapi gejala yang mengkhawatirkan muncul enam hari kemudian.
Rahang bocah itu mulai mengepal, dan leher dan punggungnya melengkung, yang merupakan indikasi gejala tetanus yang disebabkan oleh kejang otot tak disengaja.
Dia diterbangkan ke rumah sakit anak, di mana dia didiagnosis menderita tetanus.
"Untungnya, dokter-dokter gawat darurat segera mengenali gejala-gejala tetanus yang parah," Judith Guzman-Cottrill, seorang penulis laporan dan seorang profesor pediatri di Oregon Health & Science University, mengatakan dalam sebuah email.
"Semua dokter telah membaca tentang tetanus, dan kami telah melihat foto-foto orang yang menderita tetanus. ...Sangat mendalam."
Ketika pertama kali dirawat di rumah sakit, dia sadar, tetapi tidak bisa membuka mulut, kata laporan itu.
Baca Juga : Bukan Faisal Atau Ariel, Peramal Ini Sebut Luna Maya Jodoh dengan Pengusaha Tajir yang Usianya Lebih Tua
Dokter membius dan mengintubasi dia karena kejang diafragma dan laringnya menyebabkan masalah pernapasan.
Bocah itu diberikan imunoglobulin anti-tetanus untuk lukanya, serta vaksin DTaP, yang melindungi terhadap difteri, tetanus, dan pertusis.
Dia juga ditempatkan di ruangan gelap dengan penyumbat telinga, yang membantu mengurangi intensitas kejang.
Luka kulit kepalanya dibersihkan oleh para profesional medis.
Tetap saja, lengkungan leher dan punggung bocah itu memburuk. Tekanan darahnya melonjak, dan ia menjadi demam.
Dokter memasukkan tabung ke tenggorokannya sehingga ventilator dapat membantu pernapasannya, dan mengobatinya dengan obat penghambat neuromuskuler untuk mengurangi kejang ototnya.
Dia akan tetap menggunakan obat-obatan itu selama lebih dari sebulan, dan berada di unit perawatan intensif selama total 47 hari.
Pada saat ia dipindahkan dari ICU, bocah itu membutuhkan bantuan berjalan sejauh 6 meter.
Tabung trakealnya dilepas pada Hari 54, kata laporan itu.
Pada Hari 57, ia dipindahkan dari rumah sakit anak ke pusat rehabilitasi, di mana ia menghabiskan dua setengah minggu.
Secara keseluruhan, biaya pengobatan anak laki-laki di rumah sakit berjumlah US$ 811.929 (setara Rp 11,5 miliar) yang tidak termasuk biaya pengiriman udara ke rumah sakit atau rehabilitasi rawat inap, menurut CDC.
Baca Juga : Kini Dinikahi Reino Barack, Pedangdut Ini Bongkar Masa Lalu Syahrini dengan 'Pak Haji' Banjarmasin!
Tidak jelas dari laporan siapa yang menanggung biaya rumah sakitnya.
Butuh sekitar sebulan setelah rehabilitasi untuk anak itu untuk kembali ke "kegiatan normal" seperti berlari dan bersepeda, tambah laporan itu.
"Pasien berada di unit perawatan intensif, dalam kondisi kritis, selama lebih dari enam minggu," kata Guzman-Cottrill.
"Perawatan yang kompleks dan berkepanjangan menyebabkan biaya perawatan yang tinggi.
Sebaliknya, biaya satu dosis DTaP adalah sekitar $24- $30 (Rp 300-400 ribu) per dosis, dan penyakit ini dapat dicegah dengan lima dosis vaksin DTaP."
Khususnya, dokter memberikan saran kepada keluarga anak laki-laki tersebut untuk memberikan semua vaksinasi yang dibutuhkan, serta menerima dosis lanjutan dari vaksin DTaP.
Keluarganya mengatakan tidak.
Baca Juga : Irit Paket Data Hingga Putar Ulang Ratusan Kali, 5 Fitur 'Rahasia' YouTube Ini Belum Diketahui Banyak Orang!
"Meskipun ada tinjauan luas dari risiko dan manfaat vaksinasi tetanus oleh dokter, keluarga itu menolak dosis kedua DTaP dan imunisasi lain yang direkomendasikan," kata laporan CDC.
Tetanus adalah infeksi yang disebabkan oleh spora bakteri Clostridium tetani di lingkungan yang masuk ke dalam tubuh melalui luka yang terkontaminasi atau luka tusukan baru.
CDC merekomendasikan agar anak-anak menerima lima dosis vaksin DTaP.
Yaitu pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15 hingga 18 bulan, dan 4 hingga 6 tahun.
Suntikan lanjutan direkomendasikan setiap 10 tahun hingga dewasa.
Source | : | washingtonpost.com |
Penulis | : | Amelia Puteri |
Editor | : | Amelia Puteri |
KOMENTAR