Nakita.id – Tak hanya laki-laki, di Indonesia juga dikenal dengan adanya sunat pada perempuan.
Hal ini masih banyak terjadi di beberapa daerah di Indonesia, terutama di luar Pulau Jawa.
Sunat perempuan umumnya dilakukan pada anak usia 0-11 tahun.
Ini berdasarkan studi nasional Riskesdas pada 2013, sebanyak 51,2% anak perempuan usia 0-11 tahun menjalani sunat.
Presentasi tertinggi praktik sunat perempuan ini terjadi di Provinsi Gorontalo dengan 83,7%, Moms.
Menurut studi yang dilakukan oleh Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSSK UGM) dan Komnas Perempuan pada 2017, menyebut istilah sunat perempuan dengan istilah Female Genital Mutilation/Cutting (FGM/C) atau dalam istilah Indonesia disebut Pemotongan dan Perlukaan Genital Perempuan (P2GP).
Dari penjelasan Sri Purwatiningsih, peneliti dari Pusat Studi Kependudukan dan Kebijakan Universitas Gadjah Mada (PSSK UGM), praktik P2GP di Indonesia terjadi pada 51,2% anak di usia 0-11 tahun.
Praktik FGM/C atau P2GP di Indonesia ini beragam, yang dilakukan secara simbolik hanya 1,2 %.
Sedangkan lebih dari 90% mengalami perlukaan karena hal tersebut.
Pasalnya hampir semua praktik sunat perempuan di Indonesia dilakukan dengan adanya pemotongan atau dengan perlukaan.
Praktik ini sendiri sebenarnya tidak memiliki manfaat kesehatan dan justru lebih menjurus pada hal yang membahayakan.
Sebab, menurut WHO praktik ini melibatkan adanya menghilangkan dan merusak jaringan genital perempuan yang sehat dan normal.
Bahkan, praktik sunat perempuan ini juga bisa menyebabkan berbagai komplikasi.
Akan tetapi, praktik sunat perempuan ini sendiri cukup sulit dihilangkan di Indonesia.
Pasalnya, praktik ini cukup kental dengan tradisi dan dorongan religi dengan dalih perintah agama.
Baca Juga: Melahirkan Anak Keempat, Celine Evangelista: 'Ganteng Banget Anak Mommy', Seperti Apa Potretnya?
Meski disebut berbahaya dan sangat tidak disarankan, praktik ini nyatanya juga masih ada dan disediakan, bahkan oleh tenaga medis di rumah sakit.
Bila berbahaya dan dilarang, mengapa pihak rumah sakit justru memberikan layanan tersebut?
Menjawab pertanyaan itu, Sri Purwatiningsih mengatakan bahwa hadirnya tenaga medis ini justru untuk mengurangi adanya dampak bahaya dari sunat perempuan.
“Medis melakukan itu karena untuk mengurangi dampak atau bahaya dari praktik jika ditangani tenaga tradisional,” terang Sri Purwatiningsih.
Pasalnya, praktik sunat perempuan yang ditangani oleh tenaga tradisional bisa dibilang sangat berbahaya.
Praktik ini melibatkan adanya tindakan pemotongan yang menyebabkan adanya perlukaan pada alat vital anak.
“Kalau kita melihat alat-alat dari praktik tradisional itu sangat ngeri. Ada yang pakai bilah bambu, ada yang pakai silet, dan ada kalau di NTB itu pakai seperti koin yang ditengahnya ada lubang, nah alat itu dimasukkan ke dalam klitoris anak, kemudian itu dipotong,” ungkapnya.
Itulah mengapa tetap ada praktik sunat perempuan bahkan ditangani oleh medis, yang jelas mengerti aturan dan bahayanya.
“Nah itu, mengapa medis masuk. Bidan-bidan, dokter itu masuk untuk memerangi efek samping praktik yang dilakukan oleh tenaga tradisional,” jelas Master of Public Health ini.
“Jadi kalau di bidan, di medis, itu mereka biasanya tidak melakukan sesuatu yang berbahaya,” tambahnya.
Meski tetap melakukan sunat perempuan, bidan maupun tenaga medis ini tidak melakukan seperti tradisi.
Mereka hanya melakukan untuk simbolik dan tanpa menyebabkan perlukaan yang parah.
“Tapi mereka misalnya, istilahnya diusap gitu, ada betadine ditaruh di kasa terus diusap gitu di klitoris. Itu yang banyak dilakukan oleh medis,” ujarnya.
Menurut Sri, bidan dan tenaga medis pun terpaksa melakukannya agar tak dikucilkan.
Terlebih di daerah yang masih sangat kental akan tradisi sunat perempuan tersebut.
“Untuk bergaining dengan faktor tadisional yang kuat. Karena bidan kalau tidak mau melakukan dia juga akan dikucilkan,” pungkasnya.
Baca Juga: Melahirkan Anak Kedua, Tengok Potret Cantik Putri Yasmine Wildblood, Menggemaskan Bak Bayi Bule
Source | : | Liputan ICIFPRH di Jogja |
Penulis | : | Maharani Kusuma Daruwati |
Editor | : | Poetri Hanzani |
KOMENTAR