Nakita.id - Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID–19 sudah mencatat ada 111 protokol yang berasal dari kementerian atau lembaga terkait dengan percepatan penanganan Virus Corona.
Dari 111 protokol, sudah sebagian telah berhasil digabungkan menjadi 15 protokol.
Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak menyatakan siap melakukan ulasan terkait aspek perlindungan anak.
Hal ini akan dilakukan pada protokol-protokol yang sudah dibuat oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) agar ramah anak dan mengedepankan kepentingan anak.
Sebelumnya, Menteri PPPA, Bintang Puspayoga telah bersurat dengan Ketua Harian GT PP COVID–19 mengenai perlindungan perempuan dan anak dalam percepatan penanganan virus corona ini.
Menteri Bintang menyoroti dan memberi rekomendasi agar protokol dan strategi penanganan COVID - 19 mengintegrasikan hal-hal berikut ini:
1. Pengembangan dan pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) untuk mendokumentasikan dan merujuk kasus-kasus terhadap anak yang memerlukan tindak lanjut.
2. Pengembangan dan pelaksanaan protokol yang jelas untuk mencegah atau mengurangi keterpisahaan anak dari keluarga dan berbagai risiko perlindungan anak lainnya.
3. Memastikan untuk mengurangi stigma dan ekslusi sosial terhadap anak dan keluarganya yang diakibatkan paparan terhadap COVID - 19.
4. Memastikan pesan-pesan yang disampaikan oleh para pihak jelas dan terkoordinasi yang mudah diterima anak, orangtua, pengasuh, dan masyarakat terkait risiko dan kerentanan khusus terkait pandemi COVID – 19.
Tak hanya itu, Kemen PPPA melakukan pertemuan koordinasi tertutup dengan Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB, dan beberapa anggota GT PP COVID – 19 lainnya di Gedung BNPB, Jakarta (3/4/2020).
“Protokol umumnya sangat kami harapkan untuk keluar dari GT PP COVID – 19 dan akan menjadi payung yang kemudian dapat dibuat panduan-panduan teknis yang sifatnya tematik.
Misalnya, ada anak yang terpisah dari orangtuanya, atau salah satu orangtuanya meninggal karena COVID – 19. Pada kasus ini maka diperlukan panduan teknis untuk mengatur hal tersebut, bagaimana pemenuhan hak-hak anaknya, dan yang terpenting adalah pengasuhannya nanti seperti apa,” tutur Deputi Perlindungan Anak Kemen PPPA, Nahar.
Kebijakan pembatasan fisik atau jarak fisik yang diberlakukan sejak 16 Maret 2020 berpotensi meningkatkan stres pada keluarga.
Hal ini juga bisa memicu terjadinya kekerasan dan perlakuan salah secara emosional, fisik, dan seksual pada kelompok rentan, termasuk anak.
Selain itu, orangtua atau pengasuh inti yang terinfeksi virus berpotensi menyebabkan melemahnya pengasuhan dan pengawasan pada anak.
Situasi seperti wabah, pembatasan fisik, kabar bohong, berita-berita lewat media konvensional dan media sosial berpotensi meningkatkan kadar stres pada anak.
Hal ini juga akan berpotensi menyebabkan gangguan kesehatan mental anak.
“BNPB akan merangkum protokol-protokol tersebut, kemudian akan meminta masukan kembali dari K/L supaya protokol tersebut bisa tepat sasaran.
Kemen PPPA diharapkan dapat memberi rekomendasi atau masukan substansi mengenai perlindungan anak terhadap protokol pencegahan penanganan COVID – 19 yang sudah ada,” jelas Udrekh, Direktur Sistem Penanggulangan Bencana BNPB.
Pertemuan ini juga menyepakati pengintegrasian relawan perlindungan perempuan dan anak (PPA) di pusat dan daerah ke dalam desk relawan COVID – 19.
Undangan kepada Menteri PPPA juga untuk memberikan materi advokasi dan edukasi publik tentang pentingnya memberi perhatian pada isu gender dan anak dalam penanganaan COVID-19.
Hal tersebut rencananya akan dilakukan pada sesi konferensi pers di Gedung BNPB dalam waktu dekat.
Social Bella 2024, Dorong Inovasi dan Transformasi Strategis Industri Kecantikan Indonesia
Penulis | : | Ine Yulita Sari |
Editor | : | Nita Febriani |
KOMENTAR