Nakita.id - Perkembangan internet di Indonesia tampaknya sudah tidak terbendung lagi.
Hal tersebut terbukti 51,5% dari total penduduk Indonesia menggunakan smartphone mereka untuk berselancar di internet.
Lebih lanjut, data Kementerian Komunikasi dan Informatika menyebutkan sebanyak 65,34% pengguna internet merupakan anak berusia 9-19 tahun.
Tak ayal, fakta ini menjadi pintu pembuka banyak kejahatan salah satunya kejahatan seksual anak di ranah online.
BACA JUGA: Miris! Kekerasan dan Pelecehan Seksual Terhadap Perempuan Masih Bermunculan
Dengan akses informasi yang seolah tanpa batas, predator seksual pada anak bisa melakukan aksinya melalui media sosial.
Bahkan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak bersama pemerintah menggolongkan kasus pornografi di kalangan anak sebagai kejahatan luar biasa; setelah berita hoax dan cyber bullying.
"Dalam Interpol Assembly pada tahun 2016 di Bali, Pak Jusuf Kalla menyebut ini kejahatan luar biasa, kami lihat data 2016 hasil kerja sama dengan Katapedia (software monitoring Indonesia), selama dua bulan terdapat 63.066 anak yang terpapar pornografi," ungkap Asisten Deputi Perllindungan Anak dalam Situasi Darurat dan Pornografi Valentina Ginting dalam diskusi 'Kejahatan Seksual Anak Melalui Media Online' di Jakarta, Jumat (16/3).
Valentina menyebut anak yang terpapar pornografi sama bahaya dengan pecandu narkoba, namun melalui indra penglihatan atau biasa disebut Narkolema (Narkoba Lewat Mata).
Berdasarkan hasil penelitian pihaknya bekerja sama dengan Yayasan Buah Hati tahun 2018, paparan pornografi nyatanya dapat memengaruhi perkembangan otak anak secara signifikan.
"Jika anak 20-30 kali melihat konten pornografi, berarti anak itu sudah mengalami adiksi atau kecanduan pornografi.
Terdapat perbedaan struktur otak, pada anak yang sudah terpapar pornografi maka bagian otak yaitu prefrontal cortex itu akan menciut karena tersebarnya dopamin memenuhi permukaan otak", jelasnnya.
BACA JUGA: Perjuangan Hidup Seorang Anak yang Hidup dengan Otak Tak Sempurna
Prefrontal cortex atau PFC adalah bagian otak yang terlibat dalam perencanaan perilaku kompleks kognitif, ekspresi kepribadian, pengambilan keputusan dan perilaku sosial.
Dengan rusaknya sistem otak tersebut, pelaku yang melakukan kejahatan seksual bisa dibilang sudah tidak memiliki moralitas dan etika lagi.
"Kami sudah melakukan pelatihan kepada sekitar 1.600 anak kelas 3 sampai 6 SD di 8 provinsi tahun 2011, hanya 3% yang mengakui belum pernah terpapar pornografi," imbuhnya.
Pemerintah bersama Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak telah melakukan sejumlah langkah mengatasi maraknya kasus pornografi anak.
Selain adanya Undang-Undang Pornografi Nomor 44 Tahun 2008, KPPA telah menyediakan panduan standar layanan bagi anak yang menjadi korban dan pelaku pornografi dimulai dari pendampingan awal hingga pendampingan sosial dan aspek hukum.
BACA JUGA: Perawat Pria Pelaku Pelecehan Seksual Ditetapkan Sebagai Tersangka
Lebih lanjut, sebagai proses pencegahan KPPA telah menginisiasi sejumlah program hasil kerja sama dengan platform berpengaruh seperti pelatihan teman anak, internet ramah anak, penyuluhan ke sekolah-sekolah di Jakarta, penyediaan aplikasi untuk orangtua melakukan kontrol terhadap penggunaan handphone pada anak.
Lalu dengan lembaga pendidikan, KPPA telah menggalakkan program SIAP (Sadar Inspiratif Aktif dan Peduli) untuk mendorong tenaga pendidik menjadi teman murid dalam berinternet.
Namun, Valentina menambahkan bahwa pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendiri.
"Peranan orangtua memegang porsi terbesar terhadap masalah ini, 99% faktor penentu anak bisa terpapar pornografi atau tidak asalnya dari orangtua," tutupnya.
Penulis | : | Erinintyani Shabrina Ramadhini |
Editor | : | Gisela Niken |
KOMENTAR