Nakita.id – Saat ini, mata pelajaran Pendidikan Pancasila kelas X SMA Kurikulum Merdeka masih membahas bab 1.
Seperti diketahui, materi dalam bab 1 ini adalah mengenai proses sejarah kelahiran Pancasila.
Pada artikel sebelumnya, kita telah mempelajari tentang suasana, anggota, hingga denah tempat duduk saat sidang pertama BPUPK.
Kini, kita akan lanjut membahas dinamika dalam perumusan Pancasila.
Dalam buku Pendidikan Pancasila kelas X SMA/MA/SMK/MAK Kurikulum Merdeka, dijelaskan bahwa gagasan Sukarno tentang Pancasila sebagai dasar negara yang disampaikan melalui pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945, diterima secara aklamasi oleh seluruh anggota BPUPK.
Dengan demikian, setelah seluruh pembicara menyampaikan pidato-pidatonya dalam sidang pertama BPUPK, dr. K.R.T. Radjiman Wedyodiningrat selaku ketua BPUPK memutuskan untuk membentuk sebuah panitia dengan tugas menyusun rumusan tentang dasar negara dengan pidato Sukarno sebagai bahan utama ditambah usul dari semua anggota BPUPK yang mengajukannya.
Tugas tersebut mesti diselesaikan dan dilaporkan pada masa sidang yang kedua.
Panitia tersebut terdiri atas delapan orang, maka dari itu, panitia ini dikenal juga dengan nama Panitia Delapan yang terdiri atas:
a. Sukarno,
b. Mohammad Hatta,
c. R. Otto Iskandar Dinata,
d. K.H. A. Wachid Hasjim,
e. Mohammad Yamin,
f. Ki Bagoes Hadikoesoemo,
g. M. Soetardjo Kartohadikoesoemo,
h. A.A. Maramis.
Sebagai ketua Panitia Delapan, Sukarno mengambil inisiatif untuk melakukan rapat dengan beberapa anggota BPUPK.
Dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai Ketua Chuo Sangi In, Sukarno berhasil mengumpulkan kurang lebih 32 orang anggota BPUPK yang juga merupakan anggota Chuo Sangi In dalam sidang yang diadakan pada 18–21 Juni 1945 untuk menindaklanjuti keputusan sidang pertama BPUPK.
Selain 32 orang itu, ia juga mengundang anggota BPUPK yang tinggal di Jakarta meski bukan anggota Chuo Sangi In, seperti Agoes Salim, K.H. Kahar Moezakir, Dasaad, Soebardjo, Soetardjo Kartohadikoesoemo, Hindromartono, Rooseno, Djenal Asikin Widjajakoesoema, Maria Ulfah, Sastromoeljono, Soepomo, R.A.A. Wiranatakoesoema, Soerachman, Soewandi, dan Tan Eng Hoa.
Meskipun total yang diundang sebanyak 47 orang, yang datang hanya 38 orang.
Pada rapat yang berlangsung pada 22 Juni 1945 (sehari setelah sidang terakhir Chuo Sangi In berakhir) tersebut, tidak ada satu pun wakil dari pemerintah pendudukan Jepang yang hadir.
Oleh karena itu, dalam rapat itu Abikoesno dapat dengan tegas mengemukakan pendapat bahwa kemerdekaan Indonesia harus dilahirkan oleh bangsa Indonesia sendiri sehingga bukan dianggap sebagai pemberian hadiah dari Jepang atau dari mana pun.
Baca Juga: Dinamika Kelahiran Pancasila, Materi Pendidikan Pancasila Kelas X SMA Kurikulum Merdeka
Di akhir pertemuan, Sukarno kemudian memutuskan untuk menyusun sebuah panitia kecil yang menggantikan keberadaan Panitia Delapan yang dibentuk pada 1 Juni. 1945 melalui sidang pertama BPUPK.
Menurut Sukarno, pembentukan panitia yang bertugas menggantikan Panitia Delapan bentukan BPUPK ini adalah untuk menghadirkan komposisi keanggotaan perumus dasar negara yang lebih mewakili pemikiran-pemikiran yang berkembang di antara para anggota BPUPK.
Belakangan, panitia ini dikenal dengan nama Panitia Sembilan yang terdiri atas:
a. Sukarno (ketua),
b. Mohammad Hatta,
c. A.A. Maramis,
d. K.H. A. Wachid Hasjim,
e. Mohammad Yamin,
f. Abdoel Kahar Moezakir,
g. H. Agoes Salim,
h. Abikoesno Tjokrosoejoso,
Baca Juga: Kunci Jawaban Soal Uji Kompetensi 1.1 Halaman 11, Pendidikan Pancasila Kelas X SMA Kurikulum Merdeka
i. Ahmad Soebardjo.
Ada dugaan bahwa sebenarnya Ki Bagoes Hadikoesoemo ingin dimasukkan dalam panitia kecil tersebut.
Akan tetapi, karena ia terburu-buru kembali ke Yogyakarta pada tanggal 21 Juni 1945 setelah melakukan sidang Cuo Sangi In, ia tidak masuk ke dalam panitia yang dibentuk oleh Sukarno melalui rapat tersebut.
Segera setelah dibentuk, Panitia Sembilan melaksanakan pertemuan pada hari yang sama di rumah Sukarno, Jalan Pegangsaan Timur No. 56 Jakarta untuk membahas rumusan pembukaan undang-undang dasar negara yang di dalamnya berisikan dasar negara yang disepakati untuk diambil dari pidato Sukarno tanggal 1 Juni 1945.
Terjadi perdebatan pada rapat tersebut. Sebagian dari anggota Panitia Sembilan menginginkan agar Islam menjadi dasar negara, sementara sebagian yang lain menolaknya.
Usulan-usulan sejumlah anggota untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara mendapatkan sanggahan dari anggota lainnya.
Namun demikian, perdebatan tersebut pun berakhir dengan kesepakatan berupa rumusan sila "Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya" di dalam Pancasila.
Setelah itu, Mohammad Yamin sebagai salah satu anggota Panitia Sembilan diminta Sukarno untuk membuat suatu teks rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar yang di dalamnya berisi rumusan Pancasila yang sudah disepakati oleh seluruh anggota Panitia Sembilan.
Namun demikian, teks yang dibuat Mohammad Yamin tersebut dirasa terlalu panjang sehingga kemudian Panitia Sembilan membuat teks yang lebih pendek.
Setelah usai, Sukarno menamakan rancangan pembukaan Undang-Undang Dasar tersebut dengan nama "Mukadimah”.
Soekiman menamainya "Gentlemen’s Agreement" dan Mohammad Yamin menamainya dengan "Piagam Jakarta".
L'Oreal Bersama Perdoski dan Universitas Indonesia Berikan Pendanaan Penelitian dan Inovasi 'Hair & Skin Research Grant 2024'
Penulis | : | Ratnaningtyas Winahyu |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR