Nakita.id - Proses adopsi anak merupakan proses yang cukup menguras waktu dan tenaga.
Oleh karenanya, Moms dan Dads perlu memperkaya diri terlebih dahulu dengan pengetahuan terkait adopsi anak agar bisa lebih siap.
Apalagi, informasi mengenai adopsi anak sudah bisa ditemukan dengan mudah di internet maupun media sosial.
Melansir dari Child Welfare Information Gateway via Nakita (5/3/2024), adopsi anak merupakan proses hukum yang memberi kesempatan kepada anak untuk tinggal dan hidup bersama dengan orangtua adopsinya hingga beranjak dewasa.
Akan tetapi, anak adopsi masih diberi kesempatan pula untuk menjaga hubungan dengan orangtua biologisnya serta budaya dan komunitasnya, jika memungkinkan.
Seperti yang sudah disampaikan sebelumnya, mengadopsi anak adalah proses yang cukup menguras waktu dan tenaga.
Salah satunya dialami oleh orang tua adopsi Nouf Zahrah Anastasia, yang menyatakan bahwa dirinya telah menanti keturunan selama enam tahun setelah menikah di tahun 2003.
“Saya ikut berbagai treatment di klinik fertilitas dan melakukan semua tesnya, ternyata ada endometriosis.”
Sudah dioperasi dan dua kali inseminasi, rupanya Allah belum memberikan amanah tersebut kepada kami,” cerita perempuan yang akrab disapa Tasya, saat diwawancarai Nakita melalui telepon, Jumat (22/3/2024).
Dari situlah, Tasya dan suami sama-sama memutuskan untuk mengambil jalan adopsi.
Akan tetapi, informasi mengenai adopsi di Indonesia pada saat itu masih sangat minim.
“Kita berawal dengan mencari tahu bagaimana sih adopsi di Indonesia, dan dari situ kita mengetahui bahwa tidak semua anak di panti asuhan itu bisa diadopsi.
Beberapa panti asuhan ada yang bisa memperbolehkan calon orang tua untuk mengasuh anak, atau dalam arti lain orangtua hanya diberikan hak asuh,” cerita Tasya.
Menurut penjelasannya, setelah hak asuh diberikan tapi di kemudian hari jika ada orang tua kandung atau pun saudara yang menginginkan bayi atau anak tersebut, maka orangtua asuh wajib menyerahkannya.
“Rasanya, saya enggak akan sanggup kalau sampai itu terjadi, karena pastinya saya sudah sayang banget sama anak atau bayi tersebut,” ujar perempuan yang mengaku senang hiking ini.
Sebelumnya juga, Tasya mengaku bahwa ada beberapa kenalan atau beberapa orang yang kurang mampu secara ekonomi menawarkan padanya dan suami untuk untuk mengasuh anaknya tetapi dirinya menolak.
“Saya mengenal orang tua anak tersebut. Jika saya mengambil dan mengasuh anak mereka, saya seperti memisahkan anak dengan orangtua kandungnya. Saya tidak mau demikian,” terangnya.
Maka dari itu, Tasya dan suami memilih mengadopsi bayi yang memang telantar dan proses adopsi yang legal atau secara sah di mata hukum dilakukan.
Meski ada pemikiran ingin mengadopsi anak, Tasya bercerita lagi bahwa pada awalnya proses untuk melakukan adopsi sempat tertunda.
“Ada proses sekitar dua tahun untuk memantapkan bahwa saya dan suami mau adopsi,” ceritanya.
“Awalnya, saya juga ditanya sama orang tua saya kenapa mau adopsi,” lanjutnya bercerita.
Ibu satu anak ini menjawab, supaya nanti kalau sudah tua ada yang menemani dan mengurusi.
Baca Juga: Anak Adopsi Kerap Mempertanyakan Identitas Asal Usulnya, Seperti Ini Tanda-tandanya
“Tapi oleh papa saya dibilang, ‘Berarti kamu belum siap untuk adopsi, karena menjadi orangtua itu tidak mengharapkan balasan. Kamu hanya bisa memberi dan memberi’,” kenang Tasya.
Dari situlah, oleh ayah Tasya ia diminta untuk memikirkan kembali alasan mengadopsi anak.
Jika alasannya belum sesuai, ayahnya berpendapat untuk sebaiknya mengurungkan niat mengadopsi anak.
"Butuh proses selama dua tahun sampai akhirnya mengetahui alasan sebenarnya dan kemudian benar-benar mantap untuk mengadopsi anak," ujar Tasya.
“Setelah melalui proses berpikir, saya mantap bahwa saya mengadopsi karena saya merasa memiliki begitu banyak cinta yang bisa saya berikan kepada anak-anak yang kurang beruntung karena tidak bisa bersama dengan orangtua kandungnya. Dengan dasar cinta yang saya miliki itulah akhirnya saya memilih mengadopsi anak,” katanya sambil menekankan.
Saat ditanya apakah memilih kekhawatiran khusus atau tidak, Tasya mengaku bahwa kekhawatirannya lebih kepada takut tidak bisa menjadi orang tua yang seharusnya dibutuhkan.
“Jadi, bukan kekhawatiran akan anak (adopsinya), melainkan apakah kita bisa menjadi orang tua yang ideal buat anak,” ujarnya.
“Namun, untuk menghilangkan kekhawatiran berlebihan, kita selalu berusaha berpikir logis bahwa orang tua yang sempurna mungkin tidak ada.
Yang ada hanyalah orang tua yang terus berusaha memperbaiki dirinya supaya bisa memberikan yang terbaik,” tambahnya.
Tasya juga menambahkan bahwa kekhawatiran khusus lainnya adalah kesehatan anak adopsinya itu sendiri, yang saat itu baru saja sembuh dari bronkopneumonia dan menjalani masa pemulihan.
“Kondisi sakitnya cukup parah dan sempat kritis hingga dirawat hampir tiga bulan di rumah sakit. Akan tetapi Allah berkehendak lain dan menjodohkannya bertemu dengan kami,” tutupnya.
Baca Juga: Mengenal Proses Adopsi Anak: Pengertian, Prinsip, Dasar Hukum dan Persyaratan yang Wajib Disiapkan
Penulis | : | Shannon Leonette |
Editor | : | Ratnaningtyas Winahyu |
KOMENTAR