Nakita.id - Meski mungkin terdengar menyebalkan, orangtua tak perlu menganggap negatif kebiasaan anak yang gemar komplain.
Bahkan orangtua sebetulnya boleh bangga karena berarti anak ini memiliki wawasan yang baik.
Bahkan, walau belum cukup indikatornya, anak yang suka komplain ini bisa dibilang anak yang cerdas.
Mengapa? kemampuan melontarkan komplain menandakan ia memiliki potensi berpikir logis yang baik, ingatannya tajam, dan kemampuan berkomunikasinya sudah berkembang baik.
Ini adalah salah satu indikator kecerdasan anak.
Namun tentu saja untuk memastikannya, harus ada serangkaian tes atau deteksi seperti tes inteligensi.
Walau demikian, dengan alasan tersebut sudah cukup kuat bagi orangtua untuk tidak melarang-larang, menakut nakuti, apalagi memarahi anak yang suka komplain. “Awas ya ngomongnya jangan macam-macam. Nanti kamu tidak Bunda ajak lagi ke mana-mana.”
Jika seperti itu, sekali dua kali mungkin tidak mengapa.
Namun jika kelewat sering, tidak menutup kemungkinan anak akan menekan dirinya sendiri, “Ya sudah aku diam saja.”
Nah, pilih mana? Ingin punya anak yang suka komplain tapi cerdas atau anak yang pendiam tapi tidak berani berekspresi?
Tentunya pilih anak cerdas, berani berekspresi, tapi tahu kapan waktu yang pantas untuk melontarkan komplain, iya kan?
Nah, untuk itu kita tetap harus pandai-pandai mengondisikan anak dan tidak membiarkan begitu saja anak mengumbar komplain seenaknya.
Kalau dibiarkan, bisa jadi anak akan dicap bawel atau tidak disukai oleh lingkungannya.
Lebih parah lagi, jika anak sampai bertemu dengan seseorang yang mendampratnya, “Apa kamu bilang? Rumah ini jelek? Memangnya, rumah kamu bagus!” Nah, bisa dibayangkan seperti apa situasi selanjutnya.
Lantas bagaimana cara mengondisikan anak agar dapat menilai waktu dan tempat yang pas sebelum menyatakan komplain?
Saat anak komplain, orangtua sebaiknya mendengarkannya dengan hati selain telinga, tak perlu langsung memotong dan memarahinya.
Alangkah lebih baik bila orangtua melakukan elaborasi dari apa yang diungkapkan anak.
Dengan begitu, salah persepsi/miskomunikasi dapat dihindarkan.
Misalnya, mengulang kembali keluhan anak. Contoh, “Oh, jadi Adek tidak suka kalau Bunda kerja tiap hari dan maumu Bunda di rumah saja?”
Selanjutnya, berikan penjelasan untuk meluruskan pandangan/pendapat anak.
Kalimat yang digunakan sebaiknya disesuaikan dengan kapasitas berpikirnya.
Gunakan kalimat sederhana dan alasan yang tidak bersifat konseptual atau abstrak.
Contoh, “Mama bekerja agar mendapatkan uang (kenalkan fungsi uang kepada anak). Uang itu untuk membeli keperluan kamu termasuk mainan.”
Cara ini merupakan satu bentuk pengondisian agar anak mengembangkan kecerdasan emosinya.
Kecerdasan ini secara bertahap akan membantunya membuat keputusan kapan dan bagaimana melontarkan komplain tanpa menyakiti perasaan orang lain.
Bagaimana kalau anak melontarkan komplain mengenai pihak lain yang membuat situasi jadi serbasalah?
Hampir sama dengan yang tadi, tanggapi pernyataan anak dengan hati.
Tak perlu membuat pernyataan yang berlawanan dengan kenyataan demi menyelamatkan muka, sebab jikalau demikian anak bisa bingung.
Misal, “Lo, Bunda bagaimana sih, kamar mandi Paman, kan, memang jelek. Kenapa dibilang enggak jelek?”
Untuk menyelamatkan muka, yang perlu dilakukan orangtua adalah mengemukakan hal-hal “baik” dari apa yang dinilai negatif oleh anak.
Contohnya, “Ya, Paman belum bisa membetulkan kamar mandinya karena Paman pikir lebih baik mendandani ruang keluarganya dulu supaya rumahnya jadi bagus.”
Cara seperti itu juga mengajarkan pada anak untuk berpikir lebih jauh sebelum melontarkan komplain.
Meskipun si kecil tentunya belum saat itu juga dapat menyerap keseluruhan pesan orangtua, setidaknya ia sudah diberi wawasan bahwa ada pertimbangan lain yang sebaiknya ia pikirkan sebelum mengomentari sesuatu.
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
KOMENTAR