Nakita.id - Setiap tahunnya, 12 juta anak perempuan menikah saat usianya belum genap 18 tahun.
Itu artinya, setiap 23 gadis di bawah umur, menikah setiap satu menit.
Atau, setiap dua detik, ada satu gadis di bawah umur yang menikah.
Bukan hanya itu, satu dari empat perempuan menikah di bawah umur, dan bahkan satu dari tujuh perempuan di dunia ini menikah saat usianya belum genap 15 tahun.
Fenomena ini bukan fenomena baru di dunia.
Berbagai alasan muncul dengan merebaknya isu dan fenomena yang sangat mengiris hati masyarakat luas.
Bagaimana tidak? Anak-anak usia belasan tahun yang sejatinya harus memiliki pendidikan dan juga menghabiskan waktu anak-anaknya justru hari-harinya berubah menjadi memiliki tanggung jawab sebagai peran orangtua atau bahkan peran suami atau istri bagi rumah tangga masing-masing.
Tentu mereka yang usianya sangat belia juga belum memiliki pemikiran yang matang juga pemikiran dewasa dalam menyikapi berbagai hal.
Ditambah lagi, usia mereka juga secara kesehatan belum siap untuk menikah, meski sudah memasuki usia dan masa subur karena sudah menstruasi dan mimpi basah.
Baca Juga : Viral Bocah SD Nikahi Gadis SMK, Maharnya Uang 56 Juta dan Ini Alasan Orangtua Mereka!
Menurut data yang berhasil direkam oleh Children.org, sebanyak 13 persen gadis berusia 15 tahun di India sudah menikah.
Bahkan, 33 persen anak-anak di India juga sudah menikah saat usianya belum genap 18 tahun.
Belum lagi, sekitar 50 persen populasi perempuan berusia 18 tahun sudah habis karena telah menikah.
Fenomena yang terjadi seperti yang direkam Children.org tak hanya ada di India.
Berbagai negara besar dengan pendidikan yang memadahi juga terjadi fenomena serupa.
Tak perlu jauh-jauh dalam menjelajah, di Indonesia saja, tahun ini lebih dari 10 anak berusia di bawah umur sudah menikah dengan pasangan, baik yang usianya tak jauh darinya, atau bahkan menikah dengan orang dewasa yang sudah matang menikah.
Berbagai fenomena pernikahan di usia dini berhasil dirangkum Nakita.id dari Kompas.com seperti berikut.
1. Pernikahan dini di Tapin
Kisahnya menjadi ramai diperbincangkan setelah foto dan video pernikahan ZA dan IB beredar di media sosial.
Rupanya, sehari setelah pesta syukuran digelar, polisi memanggil kedua remaja tersebut dan keluarga.
Hadir pula perwakilan Kantor Urusan Agama (KUA), penghulu dan pemuka masyarakat.
Dalam pertemuan yang dilakukan secara tertutup tersebut, semua pihak sepakat bahwa pernikahan itu tidak sah.
Kepala Kantor Urusan Agama (KUA) Binuang Ahmad, mengatakan, pernikahan keduanya tidak sah, baik secara agama maupun negara, karena ada syarat-syarat yang belum terpenuhi.
2. Pernikahan dini siswi SD batal karena restu kakek
Dikutip dari Tribun Timur, pada bulan Mei tahun 2018 lalu, seorang siswi SDN 125 Karampue, Sinjai Utara, RSR (12), batal menjalani ijab kabul dengan seorang remaja E berusia 21 tahun asal Tino,
Kecamatan Taroang, Kabupaten Jeneponto.
Pernikahan tersebut gagal setelah kakek RSR, Ramli (60), tidak merestuinya dan menganggap cucunya masih masih bau kencur.
Petugas KUA di Tino juga enggan melakukan ijab kabul karena RSR masih di bawah umur.
Sayangnya, pemberitahuan tersebut agak terlambat karena para tamu undangan sudah terlanjur berdatangan.
Akibatnya, Sinar, ibu RSR, pingsan di hadapan para tamu undangan.
Untuk mengantisipasinya, panitia mengubah acara ijab kabul menjadi acara sunatan untuk sang adik.
Sebelumnya, orangtua dari pihak perempuan mengaku terpaksa akan menikahkan sang anak karena khawatir putrinya akan terlibat pergaulan bebas.
Baca Juga : Kasus Siswi SMP Hamil! Inilah Risiko Kehamilan Dini untuk Ibu dan Janin
3. Menikah karena takut tidur sendiri
AR (13) dan AM (14) masih berstatus pelajar SMP saat menikah di Kabupaten Bantaeng, Sulawesi Selatan.
AM, sang siswi, mengaku takut tidur sendirian setelah ibu kandungnya meninggal.
"Menurut tantenya, anak ini mau menikah karena takut tidur sendiri di rumah setelah ibunya meninggal setahun yang lalu. Sementara ayahnya selalu meninggalkan rumah keluar Kabupaten untuk bekerja" kata Mahdi Bakri, Pelaksana Humas Kantor Kemenag Kabupaten Bantaeng, 15 April 2018.
Sebetulnya, KUA sudah menolak pengajuan pernikahan kedua mempelai karena usia mereka masih terlalu muda.
Namun, ternyata kedua mempelai mengajukan gugatan di Pengadilan Agama Kabupaten Bantaeng dan mendapat dispensasi.
"Awalnya penghulu dan KUA Kabupaten Bantaeng menolak menikahkan mereka berdua, karena tidak memenuhi persyaratan. Namun keduanya melakukan gugatan ke Pengadilan Agama dan mendapat dispensasi. Ya akhirnya dinikahkan secara resmi, karena sudah ada putusan dari Pengadilan Agama," katanya.
4. Menikah dini karena sering pulang subuh bersama
Pada 26 November 2017, sepasang remaja, APA (17) dan APR (15), menikah di Polewali Mandar, Sulawesi Barat.
Ribuan tamu undangan dan sanak keluarga hadir untuk memeriahkan pesta pernikahan mereka. “Bahagia dan senang bisa melangsungkan pernikahan seperti pasangan lainnya. Insya Allah saya akan tetap melanjutkan sekolah," kata remaja perempuan saat dijumpai di rumahnya.
Sementara itu, kedua orangtua menjelaskan bahwa kedua anak mereka tersebut sudah saling suka dan sering pulang bersama setiap subuh.
Untuk mencegah anggapan negatif, maka keluarga sepakat untuk menikahkan keduanya.
Baca Juga : Menikah dengan Seorang Pemuda, Nenek 78 Tahun Tengah Hamil 7 Bulan
5. Bocah SD nikahi gadis SMK
Dan baru-baru ini, kembali muncul fenomena seorang bocah laki-laki berinisial RK yang baru saja lulus dari bangku Sekolah Dasar (SD) menikahi siswi SMK berinisial MA.
RK yang berusia 13 tahun menikah dengan MA yang usianya, jauh lebih tua.
MA berusia 17 saat menikah dengan RK.
Tak main-main, pernikahan yang berlangsung di Kabupaten Bantaeng ini maharnya terbilang cukup besar.
RK menikahi MA dengan mahar Rp56 juta. Sebelum menikah, RK dan MA juga ternyata sudah menjalin hubungan asmara selama satu tahun belakangan.
Saat ditanyai bagaimana nasib sekolah mereka berdua setelah menikah, keduanya mengatakan memilih berhenti sekolah dan membangun rumah tangga.
“Berhenti sekolah, urus rumah tangga,” ujar MA. Disambung dengan pernyataan RK, “Mau berhenti (sekolah), sama”.
RK juga mengatakan bahwa ia siap menikahi istrinya karena ia bisa bekerja sebagai petani bawang.
Adanya pernikahan RK dan MA, juru bicara Kemenag Bantaeng membenarkan pernikahan kedua bocah tersebut, namun Kemenag mengatakan bahwa pernikahan dua bocah ini tanpa sepengetahuan KUA Uluere.
“Mereka menikah tanpa sepengetahuan pihak KUA Uluere dan mereka diam-diam melangsungkan pernikahan itu tanpa melaporkannya,” ujar Kemenag Bantaeng.
Dari berbagai kasus dan hanya enam yang bisa dirangkum, berbagai alasan dan juga latar belakang menjadikan fenomena pernikahan dini bahkan pernikahan di usia yang sangat belia seolah terlihat biasa.
Namun tanpa kita sadari, dari berbagai fenomena tersebut, akan bermunculan dampak-dampak, juga bahaya yang seolah dilupakan oleh keluarga bahkan orangtua si korban.
Dalam fenomena ini, anak di usia kurang dari 18 tahun menjadi korban, meskipun ia memang berniat menikahi atau dinikahi.
Keduanya sama-sama merupakan korban eksploitasi anak di bawah umur.
Mengapa demikian?
Pernikahan anak di bawah umur didefinisikan sebagai kenyataan bagi anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan.
Pernikahan anak di bawah umur sudah meluas dan tersebar luas di seluruh penjuru dunia.
Tanpa disadari, fenomena tersebut menyebabkan kerugian bahkan seumur hidupnya, hingga akhir hayat anak tersebut.
Lebih dari 650 juta perempuan di dunia ini menikah saat mereka masih kanak-kanak. Dari fakta tersebut, benar bila dikatakan bahwa 12 juta anak perempuan menikah saat usianya belum genap 18 tahun.
Baca Juga : Foto Terbaru Slamet dan Nenek Rohaya ini Bikin Warganet Salah Fokus
Dari mereka yang menikah di bawah umur, mereka memiliki latar belakang kecenderungan tidak menempuh jenjang pendidikan formal sekolah dan berasal dari keluarga kurang mampu.
Setelah menikah, berbagai dampak muncul.
Lima dari delapan kasus pernikahan di bawah umur selalu mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) setelah atau bahkan sebelum usia pernikahan mereka mencapai satu tahun.
Dari dampak tersebut, The United Nations Children's Fund (UNICEF) melaporkan bahwa perempuan yang menikah di usia sebelum 18 tahun lebih rentan meninggal dunia karena berbagai penyakit.
Dua di antaranya yang paling kerap dijumpai, yakni karena komplikasi kehamilan dan persalinan di bawah usia 20 tahun.
Sesuai standar kesehatan, melahirkan di bawah usia 20 tahun memang memiliki berbagai dampak, kemungkinan bayinya lahir dalam keadaan meninggal dunia, atau bahkan calon bayinya meninggal sebelum usia kehamilannya genap satu bulan.
Tentu dampak tersebut tak hanya berbahaya bagi bayi, tetapi juga bagi ibu yang mengandungnya. Selain permasalahan kesehatan, hal tersebut juga berdampak pada mentalnya, terlebih usianya belum terlalu matang untuk menghadapi masalah berat ini.
Bukti tersebut merujuk dengan adanya fenomena perempuan yang menikah di bawah umur akan memutuskan berhenti sekoalh dan kemudian ia akan mengandung setelah menikah.
Banyak juga kasus bahwa perempuan yang menikah di usia yang kurang ideal tersebut memiliki risiko kematian tinggi.
Menurut data yang dirangkum UNICEF pada 2009, 70.000 kematian ibu hamil di usia muda tercatat setiap tahunnya.
Mereka adalah perempuan yang berusia kurang dari 18 tahun.
Ini karena kesehatan mereka belum sempurna dan belum mencapai tingkat kestabilan untuk hamil.
Bahkan, di antaranya juga mengandung bayi yang kurang sehat bahkan meninggal dunia, sebelum atau setelah melahirkan.
Baca Juga : Dicibir dan Dihina Banyak Orang, Gadis 13 Tahun ini Tetap Lahirkan Bayi dan Merawatnya
Ini sangat bisa dinalar, karena menurut segi kesehatan, anak dengan usia kurang dari 18 tahun akan mengandung bayi yang memiliki berat badan rendah dan perkembangan fisik yang lambat serta kekurangan gizi karena belum sempurnanya kondisi rahim perempuan di bawah umur.
Organ reproduksi anak-anak di bawah umur juga sangat rentan terserang penyakit bila belum berfungsi sesuai kadarnya.
Lain dari pada itu, pengantin anak perempuan juga memiliki risiko kekerasan, pelecehan bahkan eksploitasi, yang akhirnya pernikahan anak tersebut menjadi jurang pemisah dari keluarga bahkan teman-teman sebayanya.
Mereka tidak memiliki kebebasan dalam berpartisipasi dan berkegiatan dalam bermasyarakat yang akan berpengaruh bagi mental dan fisiknya.
Pada akhirnya, mereka yang hamil karena pernikahan dini akan lebih rentan terisiko mengalami HIV / AIDS bahkan kematian.
Mereka juga akan lebih depresi karena berbagai tekanan mental yang harus dirasakan sehari-hari.
Mereka sangat berpeluang kecil untuk melanjutkan hidup bahkan hidup dengan bahagia, meski berkecukupan secara ekonomi.
Dalam hal ini, menikah yang merupakan norma sosial dan bahkan adat-istiadat menjadi muncul diskriminasi gender.
Terus mendorong anak-anak berusia belia memiliki pemikiran bahwa menikah di bawah usia 18 tahun merupakan hal yang wajar dan juga tidak memiliki pengaruh besar, melihat keadaan dan lingkungan sosialnya.
Meski jumlah yang telah dijelaskan tadi termasuk besar, pernikahan di bawah umur mengalami penurunan hingga 15 persen dalam dekade terakhir.
Tetapi, UNICEF terus melakukan upaya untuk mengakhiri praktik dan kebiasaan salah ini untuk mencapai target Sustainable Development Goals yang harus segera terealisasi.
Berbagai alasannya berakhir pada garis lurus, bahwa lain karena alasan ekonomi keluarga, sehingga anaknya dinikahkan dengan orang yang memiliki segi materi lebih baik.
Juga untuk mengurangi beban perekonomian keluarga bahkan diharapkan dapat membantu ekonomi keluarga.
Baca Juga : Percepat Pernikahan dengan Persiapan 20 Jam, Mempelai Pria Meninggal 13 Jam Setelah Menikah
Tentu hal ini bukan hal mudah bagi mereka, terutama perempuan.
Sebagaimana mestinya mereka harus menikmati masa mudanya, justru terenggut dengan pemikiran berat yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya di usia yang sangat belia.
Hal tersebut tentu akan sangat mengganggu bahkan berisiko bagi mentalnya.
Adanya berbagai fenomena tersebut membuat UNICEF terus berusaha memeluk rakyat kecil dan juga rakyat yang masih berparadigma bahwa pernikahan di usia muda akan lebih bisa memperbaiki keperluan ekonomi keluarga.
UNICEF berharap keluarga memiliki peran penting untuk pertumbuhan dan perkembangan anak sesuai dengan usianya.
Juga untuk mendukung berbagai faktor mental dan sosial serta kesehatan anak-anak natinya.
Misalnya, anak bisa diarahkan untuk bersosialisasi sesuai dengan usianya, meningkatkan kesehatan mereka karena organ reproduksinya bekerja dengan baik dan mencapai sempurna, juga memperbaiki tingkat pendidikan.
Selain UNICEF, keluarga harus memiliki pemikiran sejak dini, bahkan sejak anaknya lahir, bahwa tak ada yang lebih penting selain menempuh pendidikan dan menggapai cita-cita bagi anak-anak, dengan berbagai dukungan serta adanya motivasi yang diberikan orangtua.
Kontribusi dan peran orangtua dalam mengarahkan juga memberi pendidikan bagi anak-anaknya merupakan kunci penting menekan angka pernikahan dini juga berbagai risiko penyakit yang bahkan berakhir kematian.
Baca Juga : Sederhana, Ini Penampilan Feby Febiola Saat Hadiri Pernikahan Anak Tirinya
Perempuan Inovasi 2024 Demo Day, Dorong Perempuan Aktif dalam Kegiatan Ekonomi Digital dan Industri Teknologi
Source | : | Kompas.com,children health,nakita.id |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR