Nakita.id – Saat sedang kesal atau lelah dengan tingkah laku anak, seringkali kita tanpa sadar mengucapkan kata-kata yang tidak pantas untuknya.
Misalnya seperti kata-kata bodoh, malas, dan nakal.
Padahal, Moms tentu menyadari bahwa kata-kata tersebut bisa menjadi tindakan labeling yang dapat memberi efek negatif untuk kualitas hidup dan konsep diri anak.
Baca Juga : Bisa Berbahaya, Jangan Abaikan 10 Gejala Sederhana Ini Ketika Terjadi Pada Anak
Jangan khawatir Moms karena hal tersebul sangat dipahami oleh psikolog anak dan keluarga, Ajeng Raviando, Psi dan Anna Surti Ariani, S.Psi., M.Si., dari Universitas Indonesia.
Menurut pandangan psikologis, Ajeng mengaku sangat paham bila terkadang orangtua masih belum mengerti bagaimana cara menegur dan memotivasi anak agar benar dan tidak menjurus ke arah labeling.
Namun Ajeng kembali mengingatkan kadangkala anak penasaran dengan apa yang orangtua lihat dari dirinya.
"Jadi, oangtua tetap perlu berhati-hati dengan ucapannya karena dapat melekat di benak anak," ujar Ajeng saat ditemui Nakita.id di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Senin (10/9).
Sejalan dengan penjelasan Ajeng, Anna Surti Ariani atau yang biasa disapa Nina, memberikan beberapa tips untuk pembaca Nakita.id agar tetap dapat menegur dan memotivasi anak tanpa memberikan label.
Baca Juga : Meniup Makanan Bayi Sesungguhnya Tidak Dianjurkan, Akan Menularkan Bakteri Ini!
Pertama, jangan gunakan kata ‘nakal’ tetapi gunakan kata yang lebih positif.
“Orangtua seringkali secara otomatis bahkan tidak disadari menyampaikan ‘Ih nakal banget sih!’. Jadi yang perlu dilakukan oleh orangtua adalah mengganti kata tersebut,” ujar Nina ini saat ditemui dikawasan Depok, Jawa Barat, pada Kamis (13/9).
“Misalnya dengan menghentikan pembicaraan, seperti ‘Ih kamu..’. Stop dulu sebelum mengucapkan kata nakal. Kemudian boleh kok mengganti dengan kata yang lebih positif, ‘Ih kamu nih anak mama nih’. Jadi memang transisinya menjadi lebih mudah,” tambahnya.
Baca Juga : Riset Buktikan 90% Manusia Tidak Tahu Dirinya Mengalami Gangguan Fatal Ini
Setelah itu, Nina menjelaskan bahwa orangtua harus bisa mendefinisikan ulang perilaku-perilaku apa yang diharapkan.
“Jadi dari pada mengatakan kata nakal, apa yang diharapkan dari perilaku anak tersebut. Misalnya marah-marah karena anaknya memberantakan ruangan, sampaikan saja langsung. 'Setelah ini mama minta kamu nyapu sama ngepel lagi'. That’s all. Tak perlu memberikan label-label lagi. Jadi itu justru akan menjadi pembicaraan yang lebih efektif,” jelasnya.
Baca Juga : Hal-Hal Yang Harus Diwaspadai Pada Perkembangan Bayi 0-1 Bulan
Baca Juga : #LovingNotLabeling: Tak Disangka, Ucapan Orangtua Seperti Ini Akan Membentuk Anak Jadi Sombong
Kedua, jangan gunakan kata bodoh tetapi pahami dahulu kondisi anak.
Sebagai seorang psikolog, Nina melihat bahwa kadang kala anak-anak tidak hanya kesulitan dalam pelajaran karena pelajaran itu saja.
Ada berbagai faktor yang dapat memengaruhinya.
“Kadang kadang ada pelajaran matematika yang dia tidak bisa mengejarkannya karena belum betul-betul paham. Ada juga masalah ketidak telitian. Atau karena tidak bisa konsentrasi. Beberapa hal itu kan tentu berbeda-beda penanganannya,” ungkap Nina.
“Selain itu, kadang-kadang ketika anak terlalu tertekan dengan guru atau pelajaran tertentu, anak tidak bisa mengerjakan pelajaran tersebut. Hal-hal itu yang akhirnya membuat dia terkesan gagal terus dalam pelajaran tersebut,” tambahnya.
Baca Juga : Ternyata Tak Semua Kondisi Tubuh Bisa Konsumsi Pisang di Malam Hari
Padahal bila orangtua dapat mengetahui apa saja yang dapat menghambat prestasi anak, maka orangtua akan tahu bahwa begitu banyak kata yang bisa digunakan selain kata bodoh.
Tentunya dengan menggunakan kata-kata yang lebih positif, orangtua bisa membantu anak lebih berprestasi.
“Misalnya ‘Sulit ya pelajarannya? Ayo kita belajar lagi’, atau coba digali lagi hal apa yang sebetulnya membuat anak menjadi sulit,” ujarnya.
Baca Juga : Jangan Panik, Ini 10 Kumpulan Mitos Seputar Caesar yang Perlu Moms Ketahui
Baca Juga : #LovingNotLabeling: Kebiasaan Orangtua Seperti Ini Membuat Anak Laki-laki Menjadi Feminin, Kisah Nyata!
Ketiga, jangan gunakan kata malas, tetapi tuntun anak dan beri waktu anak ketika meminta dia melakukan sesuatu.
Menurut Nina, salah satu kata labeling yang sering diucapkan oleh orangtua ialah malas.
Melabel anak malas tidak akan efektif dan justru membuat anak merasa dibenarkan perilakunya.
“Jadi bukannya dia dikritik dan jadi bersemangat tetapi dia jadi merasa dibenarkan bahwa dia malas,” ungkap Nina.
Daripada mengatakan malas, Nina menyarankan orangtua menuntun apa yang hendak dia harapkan dari anak.
“Dari pada dia bilang beresin kamar, dia bisa lebih detail. Misalnya tolong dong barang barang yang di atas lantai dinaikan ke atas meja, setelah itu tolong disapu dulu lantainya. Jadi lebih mudah untuk dicapai dibandingkan membereskan kamar secara keseluruhan,” ujarnya memberi contoh.
Baca Juga : Anak Sandra Dewi Berusia 8 Bulan, Hati-hati Dengan Perubahan Ini Moms!
Selain itu, Nina juga mengingatkan orangtua akan pentingnya menyadari pewaktuan anak, atau bagaimana cara anak mengelola waktunya.
Contohnya, daripada berbica "Sekarang langsung beresin kamar mama tidak mau tau!" Ada baiknya 'Terserah kamu mengerjakannya jam berapa yang penting jam 12 sudah beres',” ujar Nina.
Dengan begitu anak akan dapat tetap mengikuti permintaan orangtua tanpa merasa terbebani.
“Jadi anak bisa merasa 'Oke deh aku mau leye-leye dulu nati aku bereskan sebelum jam 12’. Namun pada anak yang ingin cepat selesai, ia mungkin akan langsung mengerjakan sehingga ia bisa leye-leye setelahnya,”
“Ketika kita memberikan durasi yang lebih luwes, maka anak anak ini akan lebih bersemangat untuk melakukan sesuatu,” tegasnya.
Baca Juga : Hati-hati, Kesulitan Bicara Bisa Jadi Salah Satu Tanda Tumor Otak
Baca Juga : #LovingNotLabeling: Hati-hati, Memberikan Pujian Pada Anak Bisa Berbahaya Bila Dilakukan Dengan Cara Ini
Perlu diingat, kata-kata labeling tidak hanya berasal dari kata-kata negatif tetapi juga positif.
Misalnya seperti ‘cantik’, ‘tampan’, dan ‘pintar’.
Meskipun memiliki makna yang positif tetapi baik Ajeng maupun Nina sependapat bahwa pemberian label tersebut dapat memberikan efek negatif pada anak.
Seperti membatasi anak dari berbagai hal dalam kehidupannya, baik itu dalam hal membatasi minat, membatasi konsep diri, dan membatasi cara orang memperilakukan anak.
“Ketika seorang anak dilabel jagoan matematika. Kadang guru-guru tidak akan terlalu berminat mengajari dia, ‘Sudahlah toh dia sudah jago matematika, saya mengajari saja anak anak lain yang memang masih kesulitan’. Jadinya anak tidak diberi stimulasi yang sesuai dengan kebutuhannya. Akhirnya semua sama-sama membatasi,” jelas Nina.
Baca Juga : Meghan Markle Lupa Melepas Plastik dari Tas Barunya, Tak Disangka Begini Efek Besarnya!
Selain membatasi, Ajeng berpendapat bahwa pemberian label juga dapat membebani anak.
“Misalnya ‘Dia pintar banget’, kata pintar itu kan luas dan akhirnya bisa menyesatkan anak. ‘Katanya aku kan pinter, kok aku sainsnya jelek?’. Lalu dia murung. Nah, oleh karena itu orangtua harus beri penjelasan yang lebih spesifik. ‘Oh, pintar bahasa inggris maksudnya’,” jelas Ajeng.
Ajeng melihat saat ini banyak orangtua yang menghindari labeling anak dengan kata-kata negatif tetapi tanpa sadar justru melakukan labeling dengan kata-kata positif.
“Zaman dulu namanya labeling itu biasanya lebih ke yang negatif, tapi sekarang aku suka nemu orangtua yang justru labeling pakai kata-kata positif. Mungkin maksudnya ingin memotivasi anak jadi bagus, cuma sayangnya kalau tidak sesuai sama potensinya kan justu kasian buat anak. Dia jadi gatau potensinya dia dimana,” ujar Ajeng saat ditemui Nakita.id di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, pada Senin (10/9).
Untuk itu, Ajeng menghimbau agar orangtua sebaiknya menghindari labeling pada anak.
Terlebih untuk label-label yang dapat sangat melekat di benak anak, seperti beberapa contoh yang telah dijelaskan di atas.
Baca Juga : Penting! 5 Kesalahan Olahaga Ini Membuat Tubuh Terlihat Lebih Tua
Penulis | : | Fadhila Auliya Widiaputri |
Editor | : | Gazali Solahuddin |
KOMENTAR