Tak hanya ketakutan akan terjadinya gelombang tinggi pantai juga guncangan yang pernah menimpanya, mereka juga mungkin mengalami berbagai perubahan mental karena harus mengungsi ke tempat dan tidur dengan peralatan ala kadarnya.
Seperti yang kita tahu, gempa bumi yang mengguncang Lombok, Agustus 2018 lalu saja sudah membuat banyak jiwa mengalami trauma.
Bahkan sampai pemerintah mengirimkan petugas untuk mengobati dan juga mengatasi trauma pasca gempa, karena trauma pasca gempa merupakan hal yang bisa dibilang sangat mengkhawatirkan.
Gangguan trauma pasca gempa atau trauma pasca bencana merupakan kondisi gangguan kesehatan metal akibat peristiwa mengerikan.
Trauma tersebut bisa muncul karena adanya kontak dengan diri sendiri, atau bahkan saat melihat dan menyaksikan dampak gempa secara langsung, terutama bagi anak-anak.
Baca Juga : Gempa Tsunami Palu: Mbah Mijan Pernah Katakan Akan Ada Bencana Tsunami 2018, Ini Penglihatannya yang Lain
Mau tak mau, mereka harus melihat rumah mereka rusak parah, atau bahkan rata dengan tanah.
Belum lagi ketika mereka melihat di sekelilingnya, banyak korban juga jenazah yang belum dievakuasi, mengingat banyaknya korban yang juga memerlukan bantuan.
Hal tersebut tentu membuat mereka takut bahkan trauma, sampai pada waktunya, mereka akan rentan terhadap stres.
Ditambah lagi, situasi pasca gempa yang bisa dibilang menjadi situasi yang sangat sulit bagi mereka.
Mereka harus menata hidup bersama orangtua atau keluarganya yang tersisa mulai dari nol. Mereka juga harus kembali menyiapkan diri mereka terhadap kemungkinan-kemungkinan lain, juga kemungkinan adanya susulan gempa bumi, yang biasanya dan pasti akan terjadi.
Sangat sulit bagi anak-anak untuk mengatasi dan memulihkan kondisi psikologisnya yang semakin hancur dan pengalamannya yang pasti akan selalu melekat di dalam benak dan pikirannya.
Serunya Van Houten Baking Competition 2024, dari Online Challenge Jadi Final Offline
Source | : | Kompas.com,amazon,Goodtherapy.org |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR