Nakita.id - Sekitar pukul 18.00 WITA, masyarakat Donggala, Sulawesi Tengah masih terus menjalankan aktivitasnya, setelah mereka merasakan beberapa ancaman gempa.
Pada 14.59 WITA, terjadi gempa berkekuatan 5,9 SR, yang kemudian kembali berulang pada pukul 15.28 WITA dengan magnitude 5 SR.
Disusul gempa selanjutnya pukul 16.25 WITA dengan magnitude 5,3, membuat masyarakat sekitar Donggala cukup menaruh waspada meski tetap optimis bahwa keadaan akan baik-baik saja.
Anak-anak kembali menjalankan aktivitas bermainnya, remaja dan orangtua lainnya menjalankan aktivitas seperti biasa. Bahkan, beberapa ada yang bersiap diri ke masjid untuk beribadah. Adapula yang masih di rumah menyiapkan berbagai keperluan di rumah.
Dua menit kemudian, aktivitas mereka kembali terancam. Gempa bermagnitudo 7,4 SR mengguncang Donggala dan sekitarnya, hingga kawasan Palu.
Tak berhenti kekhawatiran masyarakat sampai di situ, peringatan tsunami dirilis oleh Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika.
Dan kemudian, gelombang tsunami memecah, menyapu, bahkan menghancurkan bangunan-bangunan di kawasan Palu.
Baca Juga : Petugas ATC Korbankan Nyawanya Agar Pesawat Lepas Landas Saat Gempa Mengguncang Palu
Takbir dan seruan keselamatan lainnya diserukan oleh masyarakat di penjuru Sulawesi Tengah, khususnya Palu, Donggala dan Mamuju.
Gelombang tsunami diperkirakan mencapai ketinggian 1,5 meter dan berpusat di Palu.
Masyarakat berhamburan keluar, menyelamatkan diri juga keluarganya dari reruntuhan akibat kerasnya guncangan gempa dan juga sapuan gelombang tsunami.
Anak-anak menjerit ketakutan, menangis dan mencari orangtua serta keluarganya agar dibantu untuk menyelamatkan diri dari ancaman gempa.
Sakit pastinya menjadi mereka saat itu. Bahkan banyak di antara mereka yang jadi korban, tertimpa berbagai benda dan reruntuhan bangunan rumah dan bangunan lain di dekatnya.
Orangtua tak henti mencari dan juga menyelamatkan buah hati dan juga keluarganya, dengan harapan selamat dari tsunami.
Mereka juga mencari perlindungan dan bantuan untuk menyelamatkan diri mereka.
Pukul 18.36 WITA, tsunami dinyatakan berakhir. Namun tangis mereka belum kunjung berakhir.
Televisi dan media mencari informasi mengenai gempa Donggala dan tsunami Palu.
Bahkan mereka juga mencari kabar kerabat, keluarga serta orang terdekat mereka yang tinggal di kawasan Palu, Donggala serta Mamuju.
Banyak foto dan juga video tersebar tentang kondisi masyarakat sekitar pasca gempa dan tsunami mengguncang Palu.
Bahkan, banyak foto yang memperlihatkan deretan jenazah yang berserakan di antara puing-puing bangunan, terutama di Pantai Talise, Kota Palu.
Tak hanya berserakan, banyak jenazah yang mengapung karena sapuan gelombang tsunami yang cukup tinggi.
Gempa tak berhenti sampai di situ, hingga Sabtu (29/9/2018) pagi, gempa bumi susulan telah terjadi dan tercatat sebanyak 91 gempa susulan di Palu dan Donggala.
Baca Juga : Gempa Tsunami Palu: Bangunan Ini Tidak Ambruk Padahal Lainnya Luluh Lantak
Apa yang ada di benak dan pikiran korban saat itu selain menyelamatkan diri?
Apa yang mereka pikirkan ketika gagal menyelamatkan keluarga, suami, istri bahkan anak-anaknya dari sapuan tsunami dan reruntuhan bangunan?
Apa yang ada di benak mereka ketika melihat jenazah berserakan di dekat permukiman mereka?
Melansir dari Kompas.com, seorang saksi mata yang juga korban bernama Nining yang saat itu mengungsi di Kelurahan Lolu Utara mengungkapkan bahwa ia mau tak mau melihat banyak jenazah berserakan di pantai.
Nining juga mengatakan bahwa saat tsunami terjadi, ia melihat beberapa jenazah mengambang dan mengikuti arus tsunami bahkan hingga Sabtu pagi.
“Banyak mayat berserakan di pantai dan mengambang di permukaan laut,” ujar Nining saat berada di lokasi pengungsian gedung DPRD Kota Palu.
Jenazah-jenazah yang berserakan tersebut digambarkan Nining berada di antara puing-puing reruntuhan bangunan yang tersapu tsunami di Palu, Jumat (28/9/2018) lalu.
Bahkan sampai artikel ini ditulis, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, sebanyak 384 korban dinyatakan meninggal dunia akibat gempa dan tsunami di Palu.
Tak hanya itu, sebanyak 29 orang dinyatakan hilang, juga 540 orang korban mengalami luka cukup berat akibat tertimpa reruntuhan bangunan.
Banyak bangunan rusak, bahkan hancur tersapu dan juga terguncang gempa dan tsunami yang menimpa Palu dan sekitarnya.
Tentu melihat kenyataan tersebut bukanlah hal yang mudah. Banyak yang merasa ketakutan dan juga menyimpan trauma mendalam karena adanya gempa yang menimpanya dan juga kelyarganya.
Bahkan, mereka para korban juga rentan depresi karena mengalami trauma juga kekhawatiran bahkan stres, dalam jangka waktu yang cukup lama, meskipun bencana telah ebrakhir.
Hal tersebut bukan tidak mungkin terjadi.
Tak hanya ketakutan akan terjadinya gelombang tinggi pantai juga guncangan yang pernah menimpanya, mereka juga mungkin mengalami berbagai perubahan mental karena harus mengungsi ke tempat dan tidur dengan peralatan ala kadarnya.
Seperti yang kita tahu, gempa bumi yang mengguncang Lombok, Agustus 2018 lalu saja sudah membuat banyak jiwa mengalami trauma.
Bahkan sampai pemerintah mengirimkan petugas untuk mengobati dan juga mengatasi trauma pasca gempa, karena trauma pasca gempa merupakan hal yang bisa dibilang sangat mengkhawatirkan.
Gangguan trauma pasca gempa atau trauma pasca bencana merupakan kondisi gangguan kesehatan metal akibat peristiwa mengerikan.
Trauma tersebut bisa muncul karena adanya kontak dengan diri sendiri, atau bahkan saat melihat dan menyaksikan dampak gempa secara langsung, terutama bagi anak-anak.
Baca Juga : Gempa Tsunami Palu: Mbah Mijan Pernah Katakan Akan Ada Bencana Tsunami 2018, Ini Penglihatannya yang Lain
Mau tak mau, mereka harus melihat rumah mereka rusak parah, atau bahkan rata dengan tanah.
Belum lagi ketika mereka melihat di sekelilingnya, banyak korban juga jenazah yang belum dievakuasi, mengingat banyaknya korban yang juga memerlukan bantuan.
Hal tersebut tentu membuat mereka takut bahkan trauma, sampai pada waktunya, mereka akan rentan terhadap stres.
Ditambah lagi, situasi pasca gempa yang bisa dibilang menjadi situasi yang sangat sulit bagi mereka.
Mereka harus menata hidup bersama orangtua atau keluarganya yang tersisa mulai dari nol. Mereka juga harus kembali menyiapkan diri mereka terhadap kemungkinan-kemungkinan lain, juga kemungkinan adanya susulan gempa bumi, yang biasanya dan pasti akan terjadi.
Sangat sulit bagi anak-anak untuk mengatasi dan memulihkan kondisi psikologisnya yang semakin hancur dan pengalamannya yang pasti akan selalu melekat di dalam benak dan pikirannya.
Maka dari itu, biasanya pemerintah mengirimkan sejumlah bantuan baik untuk menangani fisik dan kesehatan mereka, juga untuk menangani dan memulihkan psikologis dan mental anak-anak korban bencana.
Pemulihan Trauma pada Orang Dewasa
Sebenarnya, bukan hanya anak-anak, orang dewasa juga tetap rentan terhadap trauma pasca gempa.
Namun, mereka lebih mampu untuk memulihkannya dan juga ekmbali bangkit, meski tidak dalam waktu singkat.
Melansir dari laman Meetdoctor, bagi orang dewasa, mereka bisa menanggulangi dan memulihkan trauma mereka secara personal.
Terlebih, saat ini masyarakat hidup dalam paparan media dan pemberitaan yang akan merekam segala insiden dan juga kejadian yang terjadi.
Rekaman tersebut akan melekat dan juga bisa muncul kembali kapan saja.
Berbagai media dan pemberitaan pasti memiliki cara tersendiri untuk menyebarkan informasi. Ada beberapa yang mampu mengontrol perasaan korban, meski banyak pula yang sekedar menulis dan juga membuka peristiwa mengerikan yang dialami korban pasca gempa.
Tentu hal-hal seperti yang terakhirlah yang sangat ditakutkan oleh masyarakat. Mereka akan kembali mengulang dan mengingat kejadian yang pernah menimpanya sehingga muncul berbagai tekanan traumatis tersendiri.
Tetapi, ada beberapa cara yang bisa ditangani orang dewasa untuk meulihkan traumanya.
1. Meski tetap merasa trauma, mengingat bahwa emosi manusia makin lama makin berkurang adalah hal utama. Ini dilakukan demi menjaga emosi dan juga hal-hal yang tak diinginkan terjadi karena mengingat insiden yang pernah menimpa.
2. Mencari dukungan sebanyak-banyaknya dari orang terdekat. Meski bantuan berupa bantuan materi dan kebutuhan dirasa penting, tak bisa dipungkiri bahwa korban akan mengalami trauma sehingga orang-orang terdekat mampu untuk memulihkannya dengan memberi berbagai dukungan mental.
Para korban cenderung akan membutuhkan tempat untuk berbagi, sehingga penting untuk berbagi dengan orang atau keluarga terdekat yang bisa memperbaiki trauma juga menumpahkan perasaannya.
3. Aktif dengan bersosialisasi juga tak kalah penting dalam memulihkan trauma.
Baca Juga : Petugas ATC Korbankan Nyawanya Agar Pesawat Lepas Landas Saat Gempa Mengguncang Palu
Para korban akan bergabung dengan suatu kelompok atau perkumpulan yang bisa menjadikan obat penyemangat juga bisa melunturkan insiden mengerikan yang pernah mereka alami.
Tetapi, banyak pula korban yang tetap mengalami trauma meski sudah melakukan segala cara pemulihan personal, sehingga dibutuhkan kehadiran ahli atau hypnosis untuk membantu traumatis mereka.
Menurut Ramani Durvasula, seorang psikolog klinis, riwayat bencana akan membuat seseorang korban mengalami perbedaan yaitu memburuknya kondisi psikologis yang mampu kambuh, sehingga membutuhkan orang lain, atau tempat berbagi.
“Bersiaplah dan miliki jaringan sosial setidaknya untuk menanggulangi stres dengan adanya bantuan dan orang-orang yang mempu mengatasi trauma dan memberi dukungan emosional,” ujar Durvasula.
Seperti yang ditulis dalam laman Good Therapy, korban bencana, terutama gempa, akan mebgalami proses pemulihan emosional yang sangat lama.
Mereka akan memiliki beberapa waktu untuk meratapi ketakutan bahkan juga kehilangan anggota keluarga yang mereka cintai, juga orang-orang terdekatnya.
Lalu bagaimana dengan anak-anak?
Pemulihan Trauma pada Anak-anak
Pada anak-anak, tentu traumatis dan juga ketakutan akan meningkat berpuluh-puluh kali.
Mereka juga rentan stres karena sudah mengalami hal yang mencekam dalam hidupnya.
Melansir Kompas.com, ada beberapa hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi trauma bencana yang menimpa anak-anak.
1. Para guru dan orangtua sebaiknya bersikap tenang karena anak-anak akan melihat orang dewasa sebagai figur mereka dalam menjalani hidup setelah bencana.
2. Ajaklah mereka dalam kegiatan sekolah sehingga rasa takut perlahan berubah menjadi suatu pengalaman hidup.
Sekolah mempunyai peran penting dalam proses kestabilan emosi serta menciptakan lingkungan yang familiar untuk mereka.
3. Ajaklah berdiskusi mengenai perasaan dan kekhawatiran mereka. Dengarkanlah dan berikanlah mereka empati karena hal ini sangat penting.
Biarkanlah mereka tahu bahwa reaksi mereka adalah wajar.
4. Buatlah suatu kesempatan untuk berdiskusi mengenai kejadian tersebut dan pengalaman mereka.
Berikanlah kesempatan pada mereka untuk melakukannya, baik verbal maupun nonverbal. Jika Moms butuh bantuan, maka jangan segan untuk meminta psikolog atau psikiater untuk membantu.
5. Perhatikan tanda stres psikologis. Perasaan terguncang masih bisa terbawa meski gempa sudah berakhir.
Baca Juga : Gempa dan Tsunami Palu, Kapal Laut Terhempas Ke Daratan Sampai Menabrak Bangunan!
Hal yang membedakan gempa dari bencana alam lainnya adalah tidak ada yang bisa memastikan, apakah gempa sudah berakhir atau belum, dan juga gempa bumi muncul tanpa adanya gejala awal.
Dengan demikian, hal ini membuat korban lebih sulit untuk mengatasi perasaan stres mereka, terutama saat mereka melihat puing-puing bangunan yang tersisa.
Oleh sebab itu, suatu goncangan kecil mungkin bisa langsung menyebabkan stres psikologis.
6. Reaksi dari anak-anak dan remaja berbeda dan tergantung dari peristiwa yang saat itu mereka alami, apakah orang yang mereka sayang terluka, seburuk apa situasi yang berlangsung, apakah mereka kehilangan rumah dan lingkungan mereka, dan terlukakah mereka secara fisik.
Para orangtua haruslah menghubungi bantuan profesional jika perubahan tingkah laku atau gejala-gejala berikut ini terus berlangsung :
- Anak usia prasekolah : menghisap jempol, mengompol, bergantung pada orangtua dan menangis saat ditinggal pergi, takut kegelapan, perubahan tingkah laku yang menunjukkan regresi, menarik diri dari lingkungan, teman-teman, dan kegiatan rutin mereka.
- Anak sekolah dasar : tingkah laku yang agresif, mimpi buruk, perasaan bergantung berlebihan terhadap orangtua, menghindari sekolah, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, dan menarik diri dari pergaulan.
- Remaja : gangguan tidur dan makan, cemas berlebihan, adanya perasaan tidak nyaman, baik fisik maupun mental, perubahan tingkah laku yang drastis, serta ketidakmampuan untuk berkonsetrasi.
7. Ada kemungkinan sebagian kecil anak-anak akan mengalami suatu gangguan stres pasca-trauma atau post traumatic stress disorder (PTSD).
Gejala bisa dari yang disebutkan di atas, ditambah dengan perasaan ketakutan bahwa bencana bisa timbul kembali, bahkan mereka bisa saja tidak bisa mengungkapkan emosinya secara baik.
Yang paling parah, meski jarang terjadi, bisa sampai terjadi kecenderungan untuk bunuh diri pada remaja.
8. Jangan lupa berikanlah mereka aktivitas mencakup ajaran untuk mengatasi masalah yang berkaitan dengan bencana tersebut.
Bantulah mereka untuk mengatasi rasa cemas dan takut itu dengan menanyakan kepada mereka mengenai apa yang biasanya mereka lakukan jika mereka sedih, takut, atau cemas.
Ketahuilah bahwa anak-anak dengan dukungan emosional yang kuat akan lebih bisa menerima keadaan seiring berjalannya waktu.
9. Pada beberapa kejadian ketika banyak sanak saudara terpisah, hal itu akan membuat orangtua lebih sibuk dalam menemukan mereka dan bisa menyebabkan anak merasa diabaikan.
Untuk itu, ajaklah mereka untuk beraktivitas dalam grup kecil dengan sesama anak-anak sehingga mereka bisa berbaur sewaktu mencari saudara yang terpisah.
10. Mintalah sekolah melakukan identifikasi terhadap remaja yang dalam resiko tinggi mengalami depresi dan stres sehingga merencanakan intervensi dengan mengajak ikut kegiatan sukarelawan.
11. Dan yang paling penting dari semua ini adalah luangkan waktu untuk diri sendiri sejenak dan biarkan mengatasi perasaan setelah bencana terjadi.
Baca Juga : Gempa Tsunami Palu, Ini 2 Tragedi Tsunami Terdahsyat di Indonesia Sebelum Donggala!
Jika orangtua dalam kondisi yang baik dan stabil, maka mereka akan bisa lebih membantu anak-anak dalam proses penyembuhan.
Serunya Van Houten Baking Competition 2024, dari Online Challenge Jadi Final Offline
Source | : | Kompas.com,amazon,Goodtherapy.org |
Penulis | : | Cynthia Paramitha Trisnanda |
Editor | : | David Togatorop |
KOMENTAR